Bisnis.com, JAKARTA - Reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dan pasar uang dapat menjadi pilihan diversifikasi investasi yang tepat di tengah fluktuasi pasar modal dan ketidakpastian global yang masih tinggi pada paruh kedua tahun 2022.
Chief Operation Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari dalam keterangannya pada Senin (1/8/2022) menyebutkan, sepanjang semester I/2022. kinerja reksa dana pendapatan tetap masih berada di zona negatif 1,03 persen berdasarkan indeks reksa dana pendapatan tetap Bareksa.
“Hal ini disebabkan oleh pelemahan harga Surat Berharga Negara (SBN) yang berimbas pada tertekannya kinerja instrumen ini,” jelasnya dalam keterangan resmi Senin (1/8/2022).
Di sisi lain, ia mengatakan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi justru menorehkan kinerja positif. Hal ini terjadi karena fluktuasi harga obligasi korporasi umumnya cenderung lebih rendah daripada SBN.
Seiring dengan tren tersebut, Bareksa mengatakan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dan pasar uang dapat menjadi opsi yang menarik bagi para investor.
Rekomendasi tersebut telah mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat sebesar 2,25 persen sepanjang tahun ini ke level 2,25 - 2,5 persen.
Baca Juga
Angka tersebut diproyeksikan akan memengaruhi kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia.
“Jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya, maka harga Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih sensitif terhadap isu makro ekonomi dikhawatirkan akan terdampak dan mengalami pelemahan,” jelasnya.
Putu menjelaskan, kebijakan Bank Sentral AS tersebut diambil untuk meredam lonjakan inflasi yang disebabkan oleh meroketnya harga pangan dan energi. Inflasi juga disebabkan oleh terlalu cepatnya laju pemulihan ekonomi yang tidak dibarengi dengan pemulihan rantai pasok barang. Ketimpangan tersebut, lanjut Putu, berimbas pada terjadinya kelangkaan barang.
Ke depannya, Bareksa memprediksi harga pangan dan energi akan kembali turun ke level normal seperti saat sebelum masa pandemi, kecuali harga batu bara karena embargo Eropa terhadap batubara asal Rusia. Harga batu bara di semester II/2022 diproyeksikan masih berada di kisaran US$350 hingga US$400 per ton.
Analisis Bareksa memproyeksikan Indonesia masih akan mengalami surplus neraca berjalan (Current Account) sekitar 0,7 persen -1,2 persen dari PDB tahun ini. Selain itu, Bank Indonesia juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4 persen di akhir 2022 dari level saat ini 3,5 persen.
Prediksi tersebut mempertimbangkan ekspektasi inflasi Indonesia tidak melampaui angka 5 persen secara tahunan pada tahun ini.
Melihat data tersebut, prospek reksa dana saham dan reksa dana indeks juga masih menarik hingga akhir tahun terutama reksadana yang berbasis saham berkapitalisasi besar (big caps) yang bergerak di sektor keuangan dan infrastruktur. Sebab saat terjadi fenomena window dressing jelang akhir tahun, sektor tersebut akan diburu investor terlebih dahulu.
“Investor dapat menikmati potensi imbal hasil yang lebih optimal di dua reksa dana tersebut dengan target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 7.200 - 7.400 hingga akhir tahun,” imbuh Putu.
Investor dapat mempertimbangkan untuk akumulasi secara bertahap di reksa dana saham dan reksa dana indeks, jika pasar saham (IHSG) mengalami penurunan ke kisaran level 6.500 - 6.700.
Namun untuk saat ini, guna mengantisipasi dampak lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga, investor dapat mendiversifikasi investasinya di reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi.