Bisnis.com, JAKARTA - Aksi jual atau sell off yang menekan IHSG belakangan ini diperkirakan bisa berlanjut dalam jangka pendek. Hal itu seiring dengan kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS berperan sebagai sentimen negatif untuk indeks. Belum lagi, rilis kinerja keuangan emiten belum banyak membantu.
Berdasarkan data RTI Business, IHSG ditutup turun 0,28% menjadi 7.266 pada Senin (11/11/2024). Dalam sepekan, indeks jeblok 3,01%. Sedangkan sejak awal tahun, IHSG turum 0,09%.
Analis Indo Premier Sekuritas Jovent Muliadi mengatakan dalam jangka pendek ini IHSG masih akan ditekan oleh sentimen domestik maupun global.
Dari sisi global, kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS membawa kekhawatiran implementasi tarif yang akan mengangkat inflasi di Negeri Paman Sam hingga menguatkan dolar AS.
"Konsekuensinya, ketika presidensi Trump sebelumnya IHSG turun 5,9% dan bank turun 10,6% dalam sebulan. Kekhawatiran utama kami adalah potensi devaluasi yuan karena retaliasi tarif AS," kata Jovent dalam riset, dikutip Selasa (12/11/2024).
Adapun, devaluasi yuan pada 2015 silam membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 8,4% atau dari Rp13.551 menjadi Rp14,693 per dolar AS. Sedangkan aksi jual di menekan IHSG hingga jeblok 12% selama 2015.
Baca Juga
Sementara sentimen global tidak menguntungkan IHSG, rilis kinerja emiten kuartal III/2024 pun belum banyak membantu. Dari beberapa saham yang dicermati Indopremier, tercatat pertumbuhan pendapatan sebesar 3% secara tahunan (yoy) dan 1% secara kuartalan (qoq).
Hanya emiten properti dan auto yang membukukan kinerja di atas perkiraan. Sementara emiten rokok dan ritel mencatatkan kinerja di bawah perkiraan, dan sisanya sesuai ekspektasi.
"Hal itu membuat kepercayaan diri investor belum muncul. Kami perkirakan IHSG tahun depan bisa naik 7%, lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan S&P sebesar 13%," tulis Jovent.
Dia melihat kombinasi ketidakpastian domestik dan pelemahan kurs bisa membuat IHSG kurang menarik. Dari dalam negeri, beberapa ketidakpastian misalnya dari kebijakan pemerintah baru.
Investor tampaknya masih menanti realisasi keinginan pemerintah yang akan menurunkan harga semen untuk program perumahan dan amnesti pinjaman Usaha Menengah-Kecil-Mikro (UMKM). Dikhawatirkan program amnesti itu akan merugikan BRI (BBRI). Namun sejauh ini, detail mengenai rencana kebijakan itu memang masih sedikit, sehingga dampaknya terhadap kinerja BBRI belum dapat dihitung.
Baru-baru ini, pemerintah Prabowo meluluskan program amnesti pinjaman UMKM yang tidak bisa membayar setidaknya dalam 5 tahun dengan pinjaman sebesar-besarnya Rp500 juta.
"Kami juga memiliki kekhawatiran pembentukan BPI Danantara berpotensi membuat utang terhadap PDB meningkat, yang akhirnya berdampak pada lilkuiditas pasar dan mata uang," kata Jovent dalam riset, dikutip Selasa (12/11/2024).
Saat ini, Jovent melihat valuasi sejumlah saham mulai menarik. Namun, investor disarankan untuk berhati-hati sembari mencermati rencana tarif Trump di AS, agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perbankan BUMN, hingga detail mengenai program pengampunan utang usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).