Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan alasan terkait investor asing yang melakukan aksi jual bersih atau net sell senilai puluhan triliun rupiah di pasar modal Indonesia sepanjang tahun berjalan atau secara year-to-date (ytd).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan, di pasar saham, investor asing membukukan net sell sebesar Rp6,25 triliun ytd per 31 Mei 2024. Akibatnya, IHSG terkoreksi 4,15% ytd ke level 6.970,74 atau melemah 3,64% secara month-to-date (mtd).
"Pelemahan terjadi di antaranya di sektor teknologi serta transportasi dan logistik secara ytd. Di sisi likuiditas transaksi, rata-rata nilai transaksi harian pasar saham tercatat Rp12,17 triliun ytd," ujar Inarno dalam Konferensi Pers RDK Bulanan, Senin (10/6/2024).
Mengacu data statistik Bursa Efek Indonesia (BEI) per 10 Juni 2024, investor asing mencatatkan net sell Rp296,06 miliar. Adapun, secara ytd, net sell asing terakumulasi sebesar Rp6,54 triliun.
Kemarin, investor asing tercatat menjual saham PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) milik Prajogo Pangestu dengan net sell Rp251,7 miliar, disusul PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) dengan net sell Rp146,1 miliar dan BBRI sebesar Rp61,3 miliar.
Sementara itu di pasar obligasi, indeks pasar obligasi ICBI menguat 1,53% ytd ke level 380,33, dengan yield SBN pada 30 Mei rata-rata naik sebesar 22,40 bps secara ytd dan non-residen mencatatkan net sell sebesar Rp35,08 triliun.
Baca Juga
Kemudian untuk pasar obligasi korporasi per akhir Mei 2024, investor asing atau non-residen juga mencatatkan net sell sebesar Rp1,57 triliun ytd.
Di industri reksa dana, nilai Asset Under Management (AUM) tercatat sebesar Rp822,48 triliun atau turun 0,27% ytd, dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana tercatat sebesar Rp482,23 triliun atau turun 3,83% ytd. Tercatat net redemption sebesar Rp75,94 triliun ytd pada 31 Mei 2024.
Dari sentimen global, OJK menyebut tensi perang dagang kembali meningkat akibat kenaikan tarif Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Amerika Latin terhadap produk China, baik produk green technology maupun besi-baja. Pengenaan tarif ini berisiko memperluas perang dagang mengingat China adalah mitra dagang utama di kawasan Amerika Latin.
Di AS, tekanan inflasi kembali mereda di tengah moderasi pasar tenaga kerja dan kinerja sektor riil. Hal ini mendorong meredanya tekanan di pasar keuangan global setelah pasar kembali berekspektasi penurunan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak dua kali di akhir 2024.
Sementara itu, otoritas moneter di Eropa diekspektasikan akan lebih akomodatif untuk mendorong perekonomian yang lemah di tengah tingkat inflasi yang terus mereda. Pasar mengekspektasikan penurunan suku bunga pada Juni dan tiga kali pemotongan di 2024.
Di China, menyikapi indikasi masih lemahnya kinerja perekonomian, Pemerintah China menerbitkan insentif fiskal yang cukup agresif yang dibiayai oleh penerbitan special long-term bond sebesar CNY 1 triliun (sekitar US$138 miliar), penerbitan ke-4 sepanjang sejarah setelah diterbitkan pada 1998 (Asian Financial Crisis), 2008 (Global Financial Crisis), dan 2020 (pandemi).