Bisnis.com, JAKARTA - Pasar obligasi Indonesia dinilai masih prospektif untuk investor asing, usai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi yen Jepang atau Samurai Bond pada Jumat (17/5/2024).
DJPPR Kemenkeu mengatakan penerbitan Samurai Bond senilai 200 miliar yen atau setara Rp20,51 triliun (kurs Rp102,57 per yen Jepang) ini ditujukan untuk pembiayaan APBN 2024. Hasil penerbitan Blue Bonds digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang termasuk dalam kualifikasi belanja sektor biru atau terkait kemaritiman sesuai dengan SDGs Framework.
Adapun, penerbitan Samurai Bond senilai 200 miliar yen itu dengan tenor 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 10 tahun dan 20 tahun, sedangkan tingkat bunga berkisar 0,99% hingga 2,55%. Transaksi ini merupakan penerbitan Samurai Bond selama 10 tahun berturut-turut sejak 2015.
Penerbitan Blue Bonds berdenominasi Yen Jepang (Samurai Bond) untuk kedua kalinya sebesar 25 miliar yen, dengan sebagian pada tenor 7 tahun dan 10 tahun, serta keseluruhan tenor 20 tahun.
Direktur Marketing Avrist AM, Agus Sugianto mengatakan peluang pasar obligasi Indonesia untuk mencatat kinerja lebih baik pada sisa tahun ini masih cukup terbuka. Kekhawatiran investor terkait dengan risiko pasar, seperti penurunan ekspektasi pemangkasan bunga oleh The Fed dan risiko geopolitik telah mencapai puncaknya pada bulan lalu.
"Salah satu indikatornya adalah bahwa investor asing sudah mulai percaya diri dan kembali masuk ke pasar domestik pada awal Mei, meskipun inflow asing tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan outflow yang terjadi pada Maret dan April 2024," ujar Agus kepada Bisnis, Senin (20/5/2024).
Baca Juga
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini porsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah dinilai sangat rendah, yaitu sekitar 13,9%, jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi yaitu sekitar 38%-39%.
Saat ini, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun berada pada level 6,8% atau telah turun dari level tertingginya pada April di level 7,27%. Meskipun demikian, tingkat imbal hasil tersebut masih lebih tinggi dibandingkan posisi awal tahun di sekitar 6.5%.
Sementara itu, tingkat imbal hasil SUN berbasis dolar AS untuk tenor 10 tahun juga sudah turun dari 5,5% menjadi 5,1%.
"Jika sentimen pasar kembali menguat, maka ruang penurunan tingkat imbal hasil tersebut lebih terbuka. Terlebih, jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di Asia, tingkat imbal hasil Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi sehingga cukup menarik khususnya bagi investor asing," jelasnya.
Menurut Agus, beberapa pertimbangan investor dalam berinvestasi di instrumen obligasi yaitu terkait dengan prospek dan arah kebijakan bank sentral dalam menentukan tingkat suku bunga acuannya. Tingkat suku bunga diprediksi sudah mencapai puncaknya dan berpotensi turun.
Selain itu, faktor lainnya yang penting sebagai pertimbangan investor yaitu terkait dengan kondisi fundamental ekonomi secara keseluruhan, seperti kebijakan dan kinerja fiskal pemerintah, stabilitas mata uang, dan indikator kinerja makro lainnya.
"Minat investor pada obligasi korporasi juga cukup tinggi karena dinilai bisa memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Namun, profil risiko kredit dari perusahaan penerbit obligasi tersebut akan sangat menentukan, termasuk kemampuan perusahaan membayar utang jatuh tempo," pungkasnya.
Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia (BI) pada 13 – 16 Mei 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp22,06 triliun terdiri dari beli neto Rp5,30 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,40 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp19,17 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sepanjang 2024, berdasarkan data setelmen hingga 16 Mei 2024, non-residen jual neto Rp42,27 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,05 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp53,18 triliun di SRBI.