Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah saham bank kembali bertaji seiring dengan akumulasi beli yang dilakukan oleh investor asing lewat aksi net buy. Adapun, saham bank jumbo seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) bergeliat pada Selasa (12/8/2025).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing mencatatkan beli bersih atau net buy senilai Rp2,20 triliun pada Selasa (12/8/2025). Sejak awal tahun, tercatat total jual bersih atau net sell investor asing sebesar Rp58,80 triliun.
Adapun aliran modal asing itu terpantau masuk ke saham-saham perbankan. Harga saham bank jumbo atau kelompok bank dengan modal inti (KBMI) IV kompak mencatatkan penguatan harga saham.
BBCA misalnya mencatatkan penguatan harga saham 2,63% ke level Rp8.775 per lembar pada perdagangan sesi pertama kemarin.
Kemudian, harga saham BBRI naik 3,94% ke level Rp3.960 per lembar. Lalu, harga saham BBNI naik 4,76% ke level Rp4.400 per lembar dan saham BMRI naik 3,6% ke level Rp4.890 per lembar.
Saham BBRI mencatatkan net buy asing terbesar yakni Rp718,81 miliar. Bank jumbo lainnya PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) masing-masing mencatatkan net buy asing sebesar Rp569,31 miliar dan Rp511,51 miliar.
Oktavianus Audi, VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia mengatakan saham bank jumbo telah menghadapi tekanan pada tahun ini dipicu oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah kebijakan suku bunga tinggi yang berimbas pada laju pertumbuhan kredit.
Selain itu, tekanan terhadap kinerja fundamental juga turut membebani. Sepanjang semester I/2025, laba bersih BBCA tumbuh 8% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp29 triliun. Di sisi lain, BRI mencatatkan kontraksi laba sebesar 11,53% yoy menjadi Rp26,28 triliun.
"Terlihat juga hanya BBCA yang memiliki pertumbuhan kredit double digit atau 12,9% yoy dan lainnya single digit," ujarnya.
Meski saham-saham perbankan belum memberikan dorongan signifikan terhadap IHSG, Oktavianus menilai prospeknya masih menarik, terutama dengan potensi pemangkasan suku bunga yang terbuka hingga akhir tahun.
Dia menambahkan bahwa faktor lain seperti daya beli yang masih terjaga, stabilitas geopolitik global, serta terbatasnya dampak kebijakan tarif AS juga mendukung prospek saham perbankan.
“Selain itu, ekonomi makro dalam negeri masih solid dengan pertumbuhan PDB di atas 5%. Nilai rupiah juga menguat hingga faktor konsumsi yang masih resilient," pungkasnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.