Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Ditutup Melemah ke Rp15.315 Meski Dolar AS Loyo

Pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan melempemnya dolar Amerika Serikat (AS) dan di tengah sentimen prediksi peningkatan suku bunga The Fed.
Pegawai merapikan uang Rupiah di kantor cabang BNI, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai merapikan uang Rupiah di kantor cabang BNI, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah ditutup melemah pada hari ini, Senin (14/8/2023). Pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan melempemnya dolar Amerika Serikat (AS) dan di tengah sentimen prediksi peningkatan suku bunga The Fed.

Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 96 poin atau 0,63 persen menuju level Rp15.315 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS melemah 0,02 persen ke 102,82.

Sementara itu, mayoritas mata uang lain di kawasan Asia juga melemah. Won Korea, misalnya, melempem 044 persen, diikuti yuan China yang turun 0,21 persen, ringgit Malaysia merosot 0,53 persen, rupee India menurun 0,16 persen, dan peso Filipina terkoreksi 0,94 persen.

Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Priyadi dalam risetnya memperkirakan rupiah berpotensi terdepresiasi menuju rentang Rp15.200-Rp15.300 per dolar hari ini. 

Menurutnya, kenaikan inflasi PPI Amerika Serikat yang sedikit lebih tinggi dari ekspektasi pasar membuat sebagian investor khawatir terhadap kemungkinan kenaikan kedua suku bunga Fed di kuartal IV/2023.

Sebagaimana diketahui, inflasi PPI mengalami rebound sedikit lebih tinggi dari ekspektasi di bulan Juli menjadi 0,8 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). inflasi bulanan PPI naik lebih tinggi dari konsensus menjadi 0,3 persen secara bulanan.

Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar bahwa momentum disinflasi di Amerika Serikat lebih lemah daripada yang ditunjukkan oleh rilis inflasi CPI hari Kamis (10/8/2023). 

Sementara dari dalam negeri, sentimen datang dari realisasi surplus anggaran 7 bulan 2023 yang mencapai Rp153,5 triliun atau 0,72 persen terhadap PDB. Surplus ini disebabkan oleh belanja negara yang lebih lambat dari pertumbuhan penerimaan negara. 

“Kami melihat hal ini sebagai hal positif, karena hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki cukup ruang fiskal untuk mempertahankan stimulus fiskal hingga kuartal IV/2023,” kata Lionel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper