Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah analis menilai, penguatan sektor teknologi akan sangat tergantung pada tingkat daya beli masyarakat. Pelemahan sektor ini sepanjang pekan lalu disinyalir berkaitan dengan hal tersebut.
Sepanjang perdagangan pekan lalu periode 30 Juni–4 Juli 2025, sektor teknologi menjadi salah satu sektor yang tertekan. Di antara menghijaunya sejumlah sektor lain, sektor ini justru terkoreksi 1,09% – tepat berada di bawah sektor finansial yang tertekan paling dalam 1,83%.
Begitu juga dengan perdagangan bulan lalu, sektor teknologi duduk di peringkat ketiga sebagai sektor paling tertekan pada Juni 2025. Sektor ini terkoreksi 3,92%, tepat di bawah sektor industri dan finansial yang masing-masing tertekan 5,44% dan 5,46%.
Equity Analyst Indo Premier Sekuritas Imam Gunadi menerangkan, kinerja sektor teknologi cukup sensitif terhadap kondisi ekonomi secara makro. Jika perekonomian masyarakat tengah tertekan, permintaan terhadap produk-produk teknologi cenderung melemah.
“Misalnya, kebutuhan akan layanan data center atau jasa IT dapat mengalami penyesuaian, seiring dengan upaya perusahaan melakukan efisiensi operasional di tengah lemahnya permintaan,” katanya saat dihubungi, Senin (7/7/2025).
Selain itu, bagi saham di sektor teknologi yang bergerak dalam bisnis on-demand, perubahan pola konsumsi konsumen juga menjadi persoalan lainnya. Semua faktor tersebut memiliki kaitan dengan pelemahan daya beli masyarakat.
Baca Juga
Adapun berdasarkan laporan Ipsos Global Consumer Confidence Index (GCCI), tingkat kepercayaan konsumen Indonesia mengalami kenaikan 2,0 poin pada Juni 2025. Kini, Indonesia memegang skor 61 terhadap indeks ini.
Meskipun mengalami pertumbuhan, namun secara tahunan, skor indeks nasional Indonesia mengalami penyusutan sebesar 2,1 poin dibandingkan Juni 2024.
Menurut Managing Director Ipsos Indonesia Hansal Savla, tren penurunan tahunan ini mengindikasikan kehati-hatian di tengah optimisme masyarakat Indonesia seiring dengan dinamika ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
“Kenaikan tipis ini menunjukkan ketahanan konsumen Indonesia. Namun, tingkatnya belum kembali ke level tahun lalu. Ini mencerminkan optimisme yang masih disertai kehati-hatian,” kata Hansal dalam siaran pers, Rabu (2/7/2025).
Analis IPOT menilai, kendati konfirmasi atas perlambatan kinerja emiten teknologi baru bakal terlihat pada laporan keuangan kuartal II dan III/2025, tetapi pasar dinilai telah memperhitungkan potensi pelemahan tersebut ke dalam harga saham-saham teknologi.
Pada perdagangan pekan lalu, misalnya, sejumlah saham dalam sektor teknologi menduduki posisi sebagai top losers dan top laggards. PT Sumber Sinergi Makmur Tbk. (IOTF) misalnya, tercatat dalam jajaran 10 top losers dengan terkoreksi 16,82%.
Sementara itu, pada posisi 10 top laggards IHSG, saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) memborong posisi tersebut, dengan terkoreksi masing-masing 2,21% dan 1,67%.
Begitu juga pada perdagangan bulan lalu. IOTF menduduki peringkat pertama dalam jajaran top losers monthly dengan terkoreksi 53,45%. Begitu juga saham PT M Cash Integrasi Tbk. (MCAS) yang terkoreksi 18,67% bulan lalu.
Pada jajaran top laggards, saham DCII juga mencatatkan kinerja tertekan bulan lalu dengan terkoreksi 3,18% dan berhasil menjadi penekan IHSG sebesar 6,51 poin. Saham EMTK juga tercatat dalam jajaran top laggards bulan lalu, tertekan 15,09%.
"Ke depan, pemulihan sektor ini sangat bergantung pada perbaikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat. Hal ini wajar mengingat sektor teknologi berperan sebagai sektor pendukung bagi aktivitas sektor-sektor lainnya," tutup Imam.
Senada, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menerangkan, prospek sektor teknologi ke depannya bakal lebih ditopang oleh stabilitas perekonomian nasional.
Sementara itu, stabilitas perekonomian nasional mensyaratkan tingginya tingkat konsumsi domestik.
“Kalau masih terjadinya strong domestic consumption, jadi otomatis trend GTV [gross transaction value] maupun GMV [gross merchandise value] juga akan mengalami kenaikan,” katanya.
Nafan menjatuhkan pilihan pada saham PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) untuk sektor teknologi. Pada saham GOTO, misalnya, Nafan menilai bahwa perseroan berhasil meningkatkan GTV dan GMV, sehingga mengurangi net loss GOTO.
Adapun GOTO mencatatkan nilai transaksi bruto atau GTV inti Grup tumbuh 54% yoy menjadi Rp 83,2 triliun, sedangkan GTV Grup tumbuh 24% yoy menjadi Rp 144,6 triliun.
Pada kuartal I tahun ini, perseroan mencatatkan pendapatan bersih sebesar Rp 4,2 triliun, meningkat 4% dari periode yang sama tahun lalu Rp 4,08 triliun.
Sementara itu, jika dihitung berdasarkan proforma, pendapatan bersih GOTO naik 37% di kuartal I/2025 ini menjadi Rp4,23 triliun, dari periode yang sama tahun lalu Rp3,08 triliun. Arus kas dari aktivitas operasional GOTO juga mencatatkan positif Rp301 miliar di kuartal pertama tahun ini.
Begitu juga pada Bukalapak yang berhasil meningkatkan kinerja GTV dan GMV sehingga mampu membalikkan net loss menjadi net profit pada kuartal I/2025.
Adapun BUKA tercatat mencetak laba bersih sebesar Rp110,6 miliar pada kuartal I/2025 ini. Hasil ini berbanding terbalik dari rugi bersih pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp41,9 miliar.
Raihan laba bersih ini dikontribusi oleh rugi usaha BUKA yang susut, serta pendapatan keuangan sebesar Rp233,1 miliar. Pendapatan keuangan ini diperoleh BUKA dari bunga deposito, bank, dan obligasi pemerintah dan lainnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.