Bisnis.com, JAKARTA – Memasuki Agustus 2025, kinerja saham sektor konsumer siklikal atau IDX Cyclical mampu menyudahi tekanannya yang terjadi sejak Maret 2025 lalu. Sektor ini pun menjadi yang paling moncer di lantai bursa, dengan apresiasi 6,41% selama periode 4–8 Agustus 2025.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks IDX Cyclical sempat melaju di jalur merah sejak 12 Maret 2025. Bahkan, indeks konsumer siklikal tertekan paling dalam sepanjang tahun berjalan 2025 ke level 635,60. Namun, memasuki Agustus, tekanan tersebut hilang dan digantikan dengan penguatan hingga saat ini.
Terpantau pada pekan pertama Agustus 2025, kinerja sektor konsumer siklikal mampu mengungguli sejumlah sektor lainnya yang kerap kali memimpin penguatan, seperti teknologi, finansial, hingga energi. Sektor konsumer siklikal pun mampu mengungguli kinerja IHSG selama sepekan, yang terkoreksi 0,06%.
Baca Juga : Pertarungan Raksasa Konsumer RI: Anthony Salim, Shindo Sumidomo, Jogi Hendra, dan Sudhamek Agoeng |
---|
Analis MNC Sekuritas PIK Hijjah Marhama menerangkan kinerja indeks konsumer siklikal yang bergeliat tidak terlepas dari menguatnya sejumlah saham di dalam sektor ini karena sejumlah sentimen.
PT MD Entertainment Tbk. (FILM), misalnya, harga sahamnya melonjak hingga 120% sejak memasuki Agustus 2025. Pada 31 Juli 2025, harga saham FILM bertengger di level Rp1.700 per lembar dan pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (11/8/2025), harga sahamnya dihargai senilai Rp3.740 per lembar.
Rahma menilai, kenaikan harga saham FILM sejalan dengan aksi korporasi rights issue yang dilakukan oleh emiten pada 10 Juli–18 Juli 2025. Aksi korporasi itu dilakukan FILM dalam rangka melunasi utang kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) sebesar Rp748,2 miliar, sedangkan sisanya untuk modal kerja termasuk pembiayaan produksi film dan konten. Dalam aksi itu, FILM menargetkan dana sebesar Rp791,82 miliar.
Selain itu, sentimen juga datang dari rebalancing indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) yang memasukkan emiten Hary Tanoe PT MNC Tourism Indonesia Tbk. (KPIG) ke dalam MSCI Small Cap Index.
"Secara price performance, [kinerja sektor siklikal] dibantu oleh beberapa saham saja, seperti FILM yang sudah naik sejak awal Agustus setelah fase rights issue selesai, terus SCMA yang menguat karena rumor IPO superbank sejalan dengan kenaikan induknya EMTK," katanya kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).
Di satu sisi, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menerangkan, bertumbuhnya sektor ini sejalan dengan sejumlah data makroekonomi yang telah dirilis, seperti indeks keyakinan konsumen yang meningkat menjadi 118,1 per Juli 2025. Hal itu yang oleh Nafan diklaim sebagai satu katalis penguatan indeks siklikal.
Meskipun begitu, Nafan menilai bahwa potensi penguatan jangka panjang terhadap sektor ini bergantung pada tingkat daya beli masyarakat. Pasalnya, emiten penghuni sektor ini adalah produsen produk sekunder.
"Hal ini menggambarkan optimisme para konsumen terhadap outlook ekonomi ke depan, masih relatif bagus, prospektif. Jadi memang wajar saja sektor siklikal berpotensi menjadi leading sector," katanya saat dihubungi, Senin (11/8/2025).
Sementara itu, MNC Sekuritas menilai bahwa penguatan sektor siklikal akan cenderung terbatas pada paruh kedua 2025. Bahkan, Rahma menilai bahwa sektor ini sulit untuk bertahan di periode Juli–Desember 2025.
Meskipun begitu, Rahma menilai, potensi penguatan sektor ini akan datang dari aksi korporasi yang disebut mampu menggairahkan pasar, dan menaikkan kinerja harga saham ke depannya.
“Daya beli masyarakat masih menjadi sentimen utama ya buat sektor ini karena pendapatan operasionalnya relate sekali dengan daya beli,” kata Rahma
Rahma merekomendasikan sell untuk saham SCMA dengan target harga Rp300 per lembar. Angka itu mencerminkan kenaikan dari Rp248 harga SCMA pada hari ini.
Rahma saat ini merekomendasikan saham MAPI, dengan target harga Rp1.450. Angka itu mencerminkan 19,34% dari harga saat ini Rp1.215.
Sementara itu, Nafan merekomendasikan saham ERAA dan AUTO, dengan target harga masing-masing Rp468 dan Rp2.240 per lembar.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.