Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah ditutup melemah ke posisi Rp16.198 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Senin (6/1/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup pada perdagangan dengan turun tipis 0,01% atau 1 poin ke posisi Rp16.198 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat melemah 0,24% ke posisi 108,535.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Dolar Singapura menguat sebesar 0,15%, won Korea menguat 0,37%, dolar Taiwan menguat sebesar 0,27%, dan dolar Hong Kong menguat 0,06%.
Sementara itu, mata uang yang melemah, di antaranya yen Jepang melemah 0,27%, peso Filipina melemah 0,17%, dan baht Thailand melemah 0,30%, ringgit Malaysia melemah 0,34%, rupee India melemah 0,06%, dan yuan China melemah 0,11%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa pada perdagangan sore ini (6/1) mata uang rupiah ditutup melemah tipis 1 poin ke level Rp16.198, setelah sebelumnya sempat menguat 20 poin ke level Rp16.196 per dolar AS.
Dia memprediksi bahwa untuk perdagangan besok (7/1/2025) mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp16.150-Rp16.210 per dolar AS.
Ibrahim mengatakan bahwa di tengah meningkatnya kekhawatiran atas suku bunga AS yang akan turun lebih lambat pada tahun ini, Federal Reserve telah memperingatkan pada Desember lalu bahwa inflasi yang lesu dan kekuatan pasar tenaga kerja akan membuat suku bunga tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Dia mengungkap bahwa Gubernur Fed Adriana Kugler dan Presiden The Fed San Francisco Mary Daly mengatakan bahwa bank sentral masih belum menyatakan kemenangan atas inflasi, dan masih mengamati pasar tenaga kerja dengan saksama untuk mencari tanda-tanda pelemahan.
Menurutnya, inflasi yang lesu dan pasar tenaga kerja yang kuat membuat The Fed kurang bersemangat untuk memangkas suku bunga. Fokus pada pekan ini adalah pada data penggajian non-pertanian yang akan datang untuk isyarat lebih lanjut tentang suku bunga.
Ibrahim mengatakan bahwa fokus pada pekan ini juga sepenuhnya tertuju pada data inflasi Desember, yang kemungkinan akan menjadi faktor dalam ekspektasi untuk stimulus lebih lanjut.
Kemudian, dia mengatakan bahwa Beijing juga diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran fiskal pada 2025 untuk mendukung ekonomi China yang kini tengah bergulat dengan deflasi yang terus-menerus selama bertahun-tahun dan penurunan pasar properti.
Lalu, menurutnya Donald Trump juga telah berjanji untuk mengenakan tarif perdagangan yang tinggi terhadap China, yang dapat memacu respons stimulus yang lebih kuat dari Beijing.