Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis tren pencatatan penawaran saham perdana ke publik (initial public offering/IPO) akan meningkat pada akhir tahun ini seiring dengan tren penurunan suku bunga acuan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan dalam daftar pipeline OJK, masih terdapat beberapa rencana IPO yang masih dalam penelahaan, termasuk beberapa calon emiten yang baru menyampaikan Pernyataan Pendaftaran di akhir kuartal III/2024.
"Kami masih optimistis sampai dengan akhir tahun masih akan ada penambahan jumlah emiten baru," ujarnya dalam jawaban tertulis, Rabu (2/10/2024).
Ditambah, menurutnya kondisi pasar pada akhir tahun akan terdongkrak dengan adanya tren penurunan suku bunga acuan. Kondisi tersebut diperkirakan mampu menjadi daya tarik perusahaan untuk melantai di Bursa.
"Dengan adanya penurunan suku bunga acuan biasanya akan membuat instrumen ekuitas lebih menarik sebagai salah satu pilihan investasi," ujar Inarno.
Sebelumnya dia menjelaskan bahwa hingga 27 September 2024 telah terdapat 27 penghimpunan dana lewat aksi IPO dengan nilai mencapai Rp3,79 triliun. Sementara, masih terdapat pipeline aksi korporasi atas rencana 95 IPO dengan nilai indikatif Rp22,01 triliun.
Baca Juga
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga menyampaikan terdapat 32 calon emiten yang berada dalam antrean IPO per 1 Oktober 2024. Sebanyak 12 perusahaan merupakan perusahaan aset skala besar.
"Dari 32 calon perusahaan tercatat tersebut, 12 perusahaan memiliki aset skala besar, atau di atas Rp250 miliar," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna pada Selasa (1/10/2024).
Nyoman melanjutkan, terdapat 18 perusahaan skala menengah dengan nilai aset antara Rp50 miliar sampai dengan Rp250 miliar yang mengantre untuk IPO. Selain itu, sebanyak dua perusahaan merupakan perusahaan dengan aset skala kecil, atau di bawah Rp50 miliar.
Lebih lanjut, Nyoman mengatakan dari 32 calon perusahaan tercatat dalam pipeline pencatatan saham, perusahaan yang bergerak pada sektor consumer non-cyclicals menjadi sektor yang paling banyak berada dalam pipeline, yaitu berjumlah enam calon perusahaan tercatat.
Sementara itu, tiga perusahaan dari sektor basic materials, lima perusahaan dari sektor consumer cyclicals, empat perusahaan sektor energi, dan dua perusahaan finansial. Lalu, dua perusahaan healthcare, empat perusahaan industrials, dua perusahaan sektor infrastruktur, tiga perusahaan properti dan real estate, serta satu perusahaan transportasi dan logistik.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer mengatakan sepanjang tahun ini, hingga September 2024 perusahaan baru yang melantai di Bursa tergolong sepi. Sebab, perusahaan masih wait and see terkait dinamika dan stabilitas politik.
Adapun, peluang perusahaan untuk melantai di bursa, termasuk perusahaan raksasa terbuka pada saat pemerintahan baru bergulir.
"Peluang untuk IPO di periode mendatang masih terbuka, salah satu perusahaan BUMN yang masih dirumorkan akan segera IPO yakni holding holding BUMN MIND ID," ujarnya, Kamis (26/9/2024).
MIND ID sendiri memang saat ini masih merencanakan IPO untuk PT Indonesia Asaham Aluminium (Inalum).
"Rencana itu [IPO MIND ID] membuktikan peluang IPO di periode mendatang masih cukup menarik," ujar Miftahul.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Martha Christina juga mengatakan pasar saat ini masih wait and see untuk menjajaki peluang IPO.
"Jadi, mungkin tahun depan lebih pasti, jadi lebih besar. Realisasinya lebih banyak buat IPO," ujarnya saat ditemui media massa, Minggu (24/9/2024).
Menurutnya, setelah pemerintahan baru, peluang IPO menjadi lebih terbuka. "Ke depan itu ekonominya akan jalan ekspansif, jadi kalau jalan ekspansif menurut saya butuh dana yang cukup besar, salah satunya dengan pinjaman perbankan. Setelah perbankan nanti obligasi-obligasi kan arahnya bunganya turun, setelah itu juga pasti akan masuk ke pasar modal," jelas Martha.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.