Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah ditutup melemah ke posisi Rp15.955 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Senin (12/8/2024).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan dengan turun 0,19% atau 30,5 poin ke posisi Rp15.955 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terpantau menguat 0,07% ke posisi 103,027.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak bervariasi terhadap dolar AS. Yen Jepang melemah 0,53%, peso Filipina melemah 0,10%, dan ringgit Malaysia melemah 0,73%.
Lalu, dolar Taiwan melemah 0,18%, dolar Singapura melemah sebesar 0,07%, yuan China melemah 0,18%, baht Thailand melemah 0,11%, rupee India melemah 0,01%, dan won Korea turun 0,47%. Sementara itu, hanya dolar Hong Kong yang menguat sebesar 0,01%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa pada perdagangan sore ini, mata uang rupiah ditutup melemah 30,5 poin walaupun sebelumnya sempat melemah 55 poin, di level Rp15.955 dari penutupan sebelumnya di level Rp15.924,5.
Sedangkan menurutnya, untuk perdagangan besok (13/8) mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp15.900-Rp15.090.
Baca Juga
Ibrahim mengungkap data dari International Monetary Fund (IMF) yang meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan di level 5,1% hingga 2029.
Dia menjelaskan bahwa konsumsi yang stagnan hingga dinamika harga komoditas menjadi sejumlah faktor yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia 5 tahun ke depan.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi RI 2024 dari IMF adalah 5,0%. Pertumbuhan ekonomi itu didukung oleh peningkatan konsumsi publik dan pertumbuhan investasi yang mengimbangi hambatan ekspor neto (net export) karena tekanan eksternal.
Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi akan sedikit meningkat menjadi 5,1%, melalui dukungan ekspansi fiskal. Inflasi utama juga diperkirakan tetap stabil di titik tengah dari rentang target yang dipatok pemerintah. Angka 5,1% tetap berlaku dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 2029.
Secara keseluruhan, IMF menilai kerangka kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan Indonesia telah memberikan landasan bagi stabilitas makro dan manfaat sosial. Kebijakan-kebijakan pemerintah dinilai berhasil fasilitasi pemulihan ekonomi dari guncangan global sejak 2020.
Secara umum, risiko yang dihadapi Indonesia relatif seimbang. Adapun, risiko negatif utama mencakup volatilitas harga komoditas yang terus menerus, seperti efek gejolak geopolitik; perlambatan mendadak perekonomian mitra dagang utama, hingga efek negatif dari kondisi keuangan global yang lebih ketat ke depannya.
Kemudian Ibrahim menjelaskan bahwa kebijakan moneter Indonesia juga dinilai sudah tepat, dengan kebijakan makroprudensial yang akomodatif sehingga mendukung pertumbuhan kredit dan likuiditas tetap aman.
Menurutnya, kebijakan moneter harus selalu didorong oleh data, berdasarkan perkembangan kondisi domestik, hingga nilai tukar yang bisa meredam guncangan.