Bisnis.com, JAKARTA - Pasar modal Indonesia terdorong sentimen positif dari keputusan Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5,25%-5-5% pada pertemuan 31 Oktober-1 November 2023.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,64% ke level 6.751,38 pada Kamis, (2/11/2023). Sejalan dengan IHSG, rupiah juga ditutup menguat 80,50 poin atau 0,51% menuju level Rp15.855 per dolar AS, sedangkan indeks dolar AS melemah 0,47% ke 106,38.
Sementara itu, di pasar surat utang, imbal hasil obligasi pemerintah acuan tenor 10 tahun melandai 1,20% ke level 7,07% pada hari ini. Di balik sikap dovish atau melunaknya The Fed, terdapat ekspektasi masuknya kembali dana investor asing baik ke pasar saham maupun surat utang.
Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang 2023 investor asing tercatat jual bersih di pasar saham sebesar Rp14,43 triliun secara year-to-date (ytd). Sedangkan di pasar obligasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per 26 Oktober 2023 pasar SBN membukukan outflow investor asing sebesar Rp13,63 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan pernyataan dari Gubernur Fed Jerome Powell yang cenderung dovish berpotensi mendorong aliran modal asing ke pasar modal negara berkembang. Salah satunya adalah pasar keuangan Indonesia.
Sebab, menurutnya para investor melihat potensi kenaikan nilai aset berisiko ke depannya. Hasil rapat FOMC The Fed diikuti juga oleh pengumuman lelang surat berharga AS yang tidak sebesar ekspektasi sebelumnya, menyebabkan penurunan US Treasury Yield, sehingga mendorong daya tarik aset-aset negara berkembang.
Baca Juga
"Namun demikian, kami perkirakan bahwa arus masuk modal asing cenderung akan bertahap, karena investor cenderung masih berhati-hati apabila terdapat perubahan kebijakan The Fed," ujar Josua kepada Bisnis, Kamis, (2/11/2023).
Kendati dibayangi oleh nada dovish dari pernyataan Powell, namun The Fed belum memastikan akan memangkas suku bunganya tahun depan sehingga potensi kenaikan suku bunga tetap ada.
"Para investor masih akan berhati-hati terhadap potensi kembalinya sentimen risk-off, terutama karena Fed belum memberikan sinyal yang jelas terkait arah kebijakan suku bunganya di tahun 2024," katanya.
Selain suku bunga The Fed, menurutnya risiko yang perlu diperhatikan pelaku pasar berasal dari indikator transaksi berjalan Indonesia yang defisitnya berpotensi melebar.
Josua bilang, hal ini disebabkan oleh potensi penurunan permintaan ekspor Indonesia akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi China. Tak hanya dari perlambatan ekonomi China, potensi normalisasi harga komoditas juga berpotensi terjadi di jangka panjang, sehingga kinerja ekspor Indonesia berpotensi mengalami penurunan.
Di lain sisi, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual menilai bahwa sentimen bullish yang dirasakan oleh pasar modal Indonesia imbas dari keputusan Fed untuk menahan suku bunga hanya terjadi dalam jangka pendek. Pasalnya, inflasi AS masih tinggi sehingga suku bunga masih berisiko naik.
"The Fed akan coba dorong inflasi lebih rendah lagi, ke target 2 persen. Jadi kalau dari pernyataan ini, artinya suku bunga masih akan relatif tinggi ke depannya dan bisa saja naik lagi," ujar David saat dihubungi Bisnis, Kamis, (2/11/2023).
Menurutnya, potensi aliran dana investor asing ke pasar modal RI masih cukup baik, terutama hingga akhir November 2023. Namun pasar masih akan mewaspadai keputusan The Fed pada pertemuan Desember mendatang dan awal tahun 2024.
Dia bilang, selain suku bunga The Fed, risiko yang terjadi yaitu ketegangan geopolitik terutama di Timur Tengah antara Israel-Hamas akan berdampak juga ke berbagai faktor seperti pasar modal, harga emas global, dan harga minyak dunia.
"Itu bisa pengaruh lagi tentunya ke harga minyak dan Indonesia sebagai net importir minyak pasti akan terpengaruh negatif," pungkas David.