Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan melanjutkan tren pelemahan pada perdagangan hari ini, Jumat (22/8/2025). Tekanan datang dari kombinasi sentimen kebijakan fiskal dalam negeri serta ketegangan geopolitik Rusia–Ukraina.
Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,11% ke level Rp16.289,50 per dolar AS pada Kamis (21/8/2025). Pada saat yang sama, indeks dolar AS menguat tipis 0,02% ke posisi 98,23.
Pelemahan rupiah sejalan dengan mayoritas mata uang Asia lain. Yen Jepang terdepresiasi 0,17%, dolar Singapura turun 0,10%, dolar Taiwan melemah cukup dalam 0,74%, won Korea Selatan turun 0,08%, peso Filipina tertekan 0,08%, yuan China terkoreksi 0,02%, dan baht Thailand melemah 0,14%. Sebaliknya, hanya dolar Hong Kong yang naik 0,02% dan ringgit Malaysia yang terapresiasi 0,11%.
Tekanan ini memperpanjang tren pelemahan rupiah dalam dua hari terakhir. Sehari sebelumnya, Rabu (20/8), rupiah sudah melemah 0,16% ke level Rp16.271 per dolar AS, sementara indeks dolar AS naik 0,05% ke 98,32.
Menurut laporan Reuters, sentimen negatif di pasar Asia juga menyeret pergerakan rupiah. Yuan China, misalnya, terdepresiasi setelah data penjualan ritel per Juli 2025 hanya tumbuh 3,7% (year-to-date), jauh di bawah ekspektasi 5,9%.
“Sentimen terhadap rupiah Indonesia berbalik negatif setelah sebelumnya positif, sementara posisi short pada dolar Taiwan dipangkas. Bank Indonesia secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan 7-day reverse repo sebesar 25 basis poin pada Rabu,” tulis Reuters, Kamis (21/8/2025).
Baca Juga
Secara teknikal, rupiah masih mencatat penguatan tipis 0,51% dalam sebulan terakhir. Namun, dalam horizon 12 bulan, rupiah terdepresiasi 4,81% dan sempat menyentuh rekor terendah Rp17.107 per dolar AS pada April 2025. Trading Economics memperkirakan rupiah akan berada di Rp16.300,2 per dolar AS pada akhir kuartal ini, dan Rp16.595,1 dalam satu tahun ke depan.
Dari sisi domestik, pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi menyoroti kebijakan fiskal pemerintah sebagai faktor penekan. Dalam RAPBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru Rp781,87 triliun melalui penerbitan SBN senilai Rp749,19 triliun dan penarikan pinjaman neto Rp32,67 triliun.
“Pembiayaan utang yang tinggi ini bisa menambah tekanan pada rupiah, meski pembiayaan pinjaman neto turun dibanding outlook 2025,” ujar Ibrahim.
Adapun dari sisi global, perkembangan konflik Rusia–Ukraina masih membayangi. Presiden AS Donald Trump berjanji menjamin keamanan Ukraina sebagai bagian dari skema penyelesaian damai, tetapi kebijakan tarif tambahan AS terhadap India atas pembelian minyak Rusia juga menciptakan ketidakpastian baru.
“Pasar khawatir tarif sekunder 25% dari AS terhadap India akan efektif berlaku pada 27 Agustus. Jika itu terjadi, tekanan terhadap perdagangan minyak Rusia bisa melebar dampaknya, termasuk bagi pergerakan rupiah,” kata Ibrahim.