Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham-saham yang Melonjak 1.000 Persen dan Kebingungan Investor

Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 83 saham emiten di BEI telah mencapai lonjakan 1.000 persen atau lebih, dan kemudian berayun turun.
Karyawan beraktifitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan beraktifitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Saham-saham yang melonjak liar tanpa ada kejelasan fundamental membuat para pelaku pasar berharap untuk regulasi yang ketat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Di pasar domestik, kerap terdengar istilah saham gorengan yang memiliki karakteristik kepemilikan terkonsentrasi, volume perdagangan yang rendah, cakupan analis yang sedikit, dan valuasi yang lebih tinggi dibanding saham-saham lain di sektor yang sama.

Mengutip Bloomberg, Sabtu (17/6/2023), dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 83 saham emiten di BEI telah mencapai lonjakan 1.000 persen atau lebih, dan kemudian berayun turun. Jumlah itu setara dengan 10 persen dari total saham yang terdaftar, proporsi ini lebih tinggi dibanding negara negara tetangga Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina.

Lonjakan saham liar pada saham-saham yang tidak likuid bukanlah hal baru di Indonesia. Fenomena tersebut telah menjadi sangat ekstrem di Indonesia sehingga BEI pada Senin (12/6/2023) memperkenalkan papan pemantauan khusus sebagai upaya perlindungan investor.

Saham-saham penghuni papan tersebut tersebut akan mencakup perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki pertumbuhan pendapatan, harga saham yang rendah, likuiditas yang tipis dan menjalani restrukturisasi utang.

Adapun sejumlah trader mendorong pihak berwenang untuk melakukan pengetatan lebih banyak lagi, sementara Presiden Indonesia Joko Widodo telah mendesak regulator untuk meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan manipulasi pasar.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan dalam sebuah laporan pada 2022 bahwa pasar keuangan Indonesia yang dangkal merupakan tantangan jangka panjang untuk pertumbuhan.

Rasio kapitalisasi pasar saham negara terhadap produk domestik bruto juga merupakan yang terendah di antara bursa-bursa lain Asia Tenggara.

“Kami membutuhkan regulator untuk turun tangan,” kata Jerry Goh, manajer investasi Abrdn Asia.

Tidak semua saham yang bergejolak dianggap sebagai saham gorengan, meskipun para pedagang telah menyatakan kebingungan atas tingkat pertumbuhan yang besar.

CUAN TAIPAN

Hasil keuntungan saham-saham yang melambung telah menambah kekayaan segelintir crazy rich Indonesia.

Sebagai contoh, Low Tuck Kwong sebagai pengendali PT Bayan Resources Tbk. (BYAN), menjadi salah satu orang terkaya di Asia setelah sahamnya melonjak lebih dari 220 persen selama enam minggu pada akhir tahun 2022.

Berdasarkan keterbukaan informasi BEI, saat saham BYAN melonjak ke rekor tertinggi pada akhir Desember 2022, Low melakukan pembelian lebih banyak saham BYAN. 

Sebelum lonjakan tersebut, kekayaan bersih Low sekitar US$5 miliar, atau seperlima dari total kekayaannya hari ini. Saham BYAN saat ini diperdagangkan dengan price-to-earning 16 kali lipat, atau lebih tinggi dari semua rekan regionalnya.

Pada bagian lain, lonjakan hampir 14.000 persen saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) dalam lima bulan setelah debut pada awal 2021 membuat pemilik mayoritasnya, yakni Otto Toto Sugiri dan Marina Budiman menyandang status miliarder.

Kini Bursa Efek Indonesia telah memberlakukan batas perdagangan intraday dan penolakan otomatis atau auto rejection bawah (ARB) hingga 15 persen. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggunakan alat pemantauan seperti penghentian atau suspensi perdagangan untuk mendinginkan aktivitas pasar yang tidak biasa.

Adapun permainan saham gorengan menjadi identik dengan kasus keruntuhan Asuransi Jiwasraya pada 2020. Perusahaan membutuhkan bailout pemerintah setelah berinvestasi pada saham-saham berisiko, sebuah pelanggaran pedoman manajemen yang mengakibatkan kerugian finansial sebesar US$2 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper