Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penjelasan Saham Defensif, Investasi untuk Hadapi Perlambatan Ekonomi

Analis menilai investor bisa mulai menjajal saham-saham defensif di sektor yang masih prospektif seiring dengan proyeksi perlambatan ekonomi.
Analis menilai investor bisa mulai menjajal saham-saham defensif di sektor yang masih prospektif seiring dengan proyeksi perlambatan ekonomi. Bisnis/Arief Hermawan P
Analis menilai investor bisa mulai menjajal saham-saham defensif di sektor yang masih prospektif seiring dengan proyeksi perlambatan ekonomi. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Saham-saham defensif bisa menjadi alternatif pilihan investor di tengah kegamangan pasar saham akibat proyeksi perlambatan ekonomi global pada 2023. 

Saham defensif adalah saham yang memberikan dividen konsisten dengan imbal hasil yang stabil, terlepas dari kondisi pasar saham secara menyeluruh. Secara fundamental, emiten memiliki permintaan yang konstan pada suatu produk sehingga sahamnya cenderung lebih stabil selama berbagai fase siklus.

Contoh sektor saham defensif adalah kebutuhan pokok, layanan kesehatan, telekomunikasi, serta utilitas seperti energi, air, listrik, dan gas.

Mengutip laman RH Sekuritas Indonesia, investor dapat melindungi portofolionya selama keadaan ekonomi melemah dan periode volatilitasnya tinggi, dengan meningkatkan eksposur terhadap saham defensif. Hal ini karena saham defensif ini menyediakan return yang konsisten, bahkan saat terjadi penurunan ekonomi atau pasar sekalipun.

Saham defensif sejatinya cocok untuk semua tipe investor, terutama yang ingin mempunyai investasi dalam jangka panjang seperti di atas 5 tahun. Saham defensif juga cocok untuk investor pemula.

Manfaat utama dari saham defensif ini adalah imbal hasil yang dapat dinikmati secara jangka panjang dengan risiko yang lebih rendah dibandingkan saham lainnya. Investor senior seperti Warren Buffet juga berfokus pada saham-saham defensif ini.

Namun demikian, saham defensif cenderung memiliki volatilitas yang rendah sehingga imbal hasil yang didapatkan cenderung lebih kecil selama pasar sedang menguat. Hal inilah yang kemudian membuat banyak investor menghitung ulang untuk masuk ke saham defensif.

Ekonomi dunia yang diramal tumbuh melambat pada 2023 memang tidak lantas membuat pasar saham kehilangan daya tarik. Alih-alih langsung beralih ke aset safe haven, analis menilai investor bisa mulai menjajal saham-saham di sektor yang masih prospektif.

“Investor bisa memilih saham defensif dan saham komoditas logam yang menjadi safe haven asset,” kata Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya, Rabu (11/1/2023).

Perekonomian global diramal tumbuh melambat pada 2023. Bank Dunia atau World Bank dalam laporan terbarunya memperkirakan pertumbuhan ekonomi dengan mengacu pada produk domestik bruto (PDB) pada 2023 hanya akan mencapai 1,7 persen, dari 2,9 persen pada 2022.

Perlambatan ini perkirakan juga dihadapi Indonesia. Ekonomi Tanah Air diproyeksikan tumbuh 4,8 persen pada 2023, lebih lambat dari kenaikan pada 2022 sebesar 5,2 persen.

Kekhawatiran pada ekonomi yang berisiko melambat turut tecermin pada gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sampai penutupan perdagangan Rabu (11/1/2023), indeks komposit terkoreksi 0,57 persen ke 6.584,45.

Cheril tidak memungkiri bahwa proyeksi mendung ekonomi global bisa mengurangi optimisme investor di pasar saham. Namun, sejumlah katalis positif masih menyertai pasar dalam waktu dekat.

“Proyeksi yang dipangkas turut menurunkan optimisme investor pasar modal mengingat tiap kali ada pemangkasan target pertumbuhan ekonomi diikuti koreksi jangka pendek di pasar saham,” jelas Cheril.

Meski demikian, pelonggaran kebijakan Zero Covid-19 China yang diikuti pembukaan perbatasan dinilainya tetap menjadi angin segar bagi pasar Indonesia. Sebagaimana diketahui, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

Di sisi lain, konsumsi rumah tangga cenderung masih kuat. Hal ini tecermin pada inflasi yang masih meningkat dan indeks keyakinan masyarakat memperlihatkan kenaikan di akhir 2022 meskipun terdapat kekhawatiran resesi.

Sementara itu, sejumlah katalis negatif yang perlu diantisipasi adalah kenaikan suku bunga The Fed yang berpotensi berlanjut untuk mengendalikan inflasi dan konflik Rusia-Ukraina yang belum berakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper