Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja keuangan perusahaan rokok Golongan 1 merosot tajam pada kuartal I/2022. Emiten rokok besar ini mengalami penurunan laba bersih yang signifikan dibandingkan kuartal I/2021 akibat beban cukai yang melonjak.
Sebaliknya, pabrikan rokok di bawah golongan 1 mampu membukukan kinerja baik. Hal tersebut didorong oleh beban cukai yang secara signifikan lebih rendah.
Founder & CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto mengatakan kemerosotan profitabilitas emiten rokok kelas premium dipengaruhi sentimen negatif kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
“Saat ini, anjloknya laba GGRM [PT Gudang Garam Tbk.] dan HMSP [PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk.] dipengaruhi beban biaya operasional akibat kenaikan tarif cukai rata-rata 12 persen,” katanya kepada wartawan, Kamis (19/5/2022).
Sekadar informasi, Gudang Garam atau GGRM mencatatkan penurunan laba bersih 38,5 persen menjadi Rp1,07 triliun sepanjang kuartal I/2022. Biaya cukai, PPN, dan Pajak Rokok Gudang Garam pada kuartal I/2022 tercatat Rp 25,06 triliun, naik 6,45 persen dibandingkan kuartal I/2021 sebesar Rp 23,54 triliun. Cukai dan pajak merupakan beban terbesar dari biaya pokok penjualan (COGS) perusahaan.
Hal serupa juga melanda Hanjaya Mandala Sampoerna atau HMSP. Kendati mencatatkan kenaikan penjualan sebesar 11,04 persen menjadi Rp23,58 triliun laba bersih perusahaan pada kuartal I/2022, atau tergerus 25,95 persen menjadi Rp1,91 triliun dibandingkan laba bersih kuartal I/2021 sebesar Rp2,58 triliun.
Tergerusnya laba bersih ini tak lepas dari beban cukai dan pajak rokok yang melonjak 26,96 persen menjadi Rp 17,94 triliun dari Rp 14,13 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Dia melanjutkan, tergerusnya laba bersih emiten rokok Golongan 1 juga dipengaruhi peralihan konsumsi rokok dari produk rokok premium ke produk rokok yang lebih murah yang berada di Golongan 2 dan 3 akibat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Pabrikan golongan 2 dan 3 dalam posisi diuntungkan dengan selisih tarif sebesar 40 persen lebih rendah dari tarif cukai yang dibayar pabrikan Golongan 1. Dengan begitu, produsen rokok golongan 2 dan 3 mampu mempertahankan margin profitabilitasnya tanpa harus menaikkan harga jual secara signifikan.
Menurut Fendi, kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab kinerja perusahaan rokok pada Golongan 2-3 tidak mengalami penurunan secara signifikan, bahkan beberapa di antaranya cenderung positif.
Pada kuartal I/2022, laba bersih PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) hanya turun tipis 2,3 persen menjadi Rp37,68 miliar. Sebaliknya, laba bersih PT Indonesian Tobacco Tbk. (ITIC) bahkan naik signifikan hingga 116 persen menjadi Rp3,79 miliar.
PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) juga membukukan kinerja positif. Sepanjang kuartal I/2022, untuk pertama kalinya perusahaan mampu membukukan laba bersih Rp4,29 miliar setelah bertahun-tahun merugi. Pada tahun ini, Bentoel resmi turun ke Golongan 2 untuk keseluruhan portofolionya. Pada periode yang sama tahun lalu, RMBA membukukan rugi sebesar Rp 4,1 miliar.
“Bentoel tahun 2022 ini turun ke golongan 2 dan sedang proses delisting. Dengan turun ke golongan 2, COGS-nya tidak terlalu tinggi alias dapat menghemat kewajiban pembayaran cukai sebesar 40 persen. Ini menjadi kunci membalik kinerja Bentoel yang dalam beberapa tahun belakangan selalu merugi” kata Fendi.
Berdasarkan laporan keuangan, beban cukai dan pajak Bentoel kuartal I/2022 tercatat hanya Rp 686,4 miliar, turun lebih dari 38 persen dibandingkan kuartal I/2021 sebesar Rp 1,11 triliun.
Menurut Fendi, tren merosotnya kinerja pabrikan Golongan 1 ini perlu jadi perhatian khusus. Bahkan, makin besarnya beban cukai pabrikan Golongan 1 akan mendorong pertumbuhan penjualan rokok murah dari perusahaan rokok Golongan 2 dan 3.
“Jika ini tidak berubah maka dalam jangka panjang era rokok murah akan terus berlanjut, sementara emiten pabrikan Golongan 1 bisa habis.” pungkasnya.