Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 12 emiten menjadwalkan pembayaran dividen pada hari ini, Rabu (23/7/2025). Beberapa di antaranya adalah PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), dan PT Bayan Resources Tbk. (BYAN). Tidak tanggung-tanggung, ketiga emiten ini akan membayar dividen senilai Rp9,93 triliun.
Pada hari ini, pemegang saham INDF akan menerima dividen sebesar Rp280 per lembar saham. INDF bahkan mengalokasikan Rp2,45 triliun sebagai total dividen yang harus dibayarkan kepada para pemegang saham.
Pembagian dividen jumbo sejalan dengan kinerja INDF sepanjang 2024, yang mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 6,07% year on year (YoY) menjadi Rp8,64 triliun pada 2024. Kinerja penjualan INDF ditopang segmen produk konsumen bermerek yang mencatatkan Rp73,32 triliun.
Di lantai Bursa, harga saham INDF dibanderol seharga Rp8.300 per lembar. Dengan begitu, dividend yield INDF mencapai 3,37%.
Begitu pula dengan GGRM, yang setelah sempat absen membagikan dividen tahun buku 2023, kini kembali membagikan dividen atas keuntungan yang perseroan dapatkan. GGRM akan membagikan dividen senilai Rp500 per lembar atau Rp962,04 miliar secara total.
Adapun sepanjang 2024, GGRM mencatatkan penyusutan laba bersih secara tahunan. Perseroan mencatatkan laba bersih sebesar Rp980,8 miliar sepanjang 2024, anjlok 81,58% dibandingkan Rp5,32 triliun pada 2023.
Baca Juga
Sebaliknya, BYAN bakal menjadi emiten dengan pembayaran dividen terbesar pada hari ini. Emiten tambang batu bara ini berencana membagikan dividen final senilai US$400.000.020 secara total atau sekitar US$0,012 per lembar.
Meskipun begitu, secara kinerja, BYAN juga mencatatkan pelemahan. Laba bersih BYAN turun menjadi US$922,6 juta atau setara Rp15,2 triliun sepanjang 2024 (kurs Rp16.575 per dolar AS 28 Februari 2025).
Berdasarkan data yang diolah Bisnis.com, ketiga saham tersebut telah mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan selama periode cum dividen tahun buku 2024. GGRM misalnya, harga sahamnya melonjak 7,80% selama sepekan menjelang cum dividen, periode 23 Juni–4 Juli 2025.
Begitu pula dengan emiten Grup Salim, yang mengalami kenaikan sebesar 1,86% selama periode menjelang cum dividen, 20 Juni–1 Juli 2025. Kenaikan harga saham menjelang cum dividen juga dialami oleh Bayan. Harga sahamnya naik 1,02% selama periode menjelang cum dividen hingga 1 Juli 2025.
Begitu pula pada periode cum dividen tahun buku 2023. Saham INDF naik 5,08% pada periode 26 Juni–8 Juli 2024. Saham BYAN juga melonjak 24,01% hanya dalam sepekan perdagangan.
Akan tetapi, tren penurunan harga saham terjadi kepada sejumlah emiten selepas pembayaran dividen. Melansir data historis, harga saham BYAN melemah 1,87% selama periode 24 Juli–2 Agustus 2024, selepas membayar dividen pada 24 Juli 2024.
Begitu pula dengan harga saham INDF yang terkoreksi 1,22% selepas pembayaran dividen pada Juli 2024 silam. Di satu sisi, kinerja saham GGRM, meskipun sempat menguat pada beberapa hari perdagangan selepas pembagian dividen pada 18 Juli 2023, tetapi harga sahamnya seketika ambles ke Rp25.375 pada 2 Agustus 2023, atau terkoreksi 8,96%.
Selepas pembayaran dividen pada hari ini, para analis dalam konsensus Bloomberg memberikan rekomendasi yang berbeda terhadap kinerja ketiga emiten ini. Terhadap INDF, misalnya, sebanyak 24 analis memberikan rekomendasi buy terhadap saham ini dan hanya 1 analis yang merekomendasikan holds. Target harga saham INDF untuk 12 bulan ke depan diprediksi mencapai Rp9.327 per lembar.
Rekomendasi terbaru datang dari analis Verdhana Sekuritas Sandy Ham yang merekomendasikan buy untuk saham INDF, dengan target harga Rp12.650. Selanjutnya ada analis DB Bank Cheria Widjaja yang merekomendasikan buy dengan target harga Rp9.700.
Analis Ciptadana Sekuritas Asia Putu Chantika, memperkirakan, segmen Bogasari akan tetap solid di sisa 2025. Terlebih, di tengah tantangan tarif Trump 19%, analis memperkirakan bahwa dampak harga akan minimal terhadap INDF, karena infrastruktur rantai pasokan perusahaan yang kuat.
"Bogasari telah mendiversifikasi strategi pengadaan gandumnya, dengan pasokan berasal dari AS, Kanada, dan Australia," katanya.
Sebaliknya, para analis merekomendasikan sell bagi saham GGRM. Dari 16 analis yang memberikan rekomendasi, 11 menyematkan sell dan hanya 5 yang merekomendasikan holds. Target terbaru saham ini dipasang pada area Rp6.836 per lembar. Hal itu mencerminkan penurunan hingga 26,88% bagi saham GGRM yang saat ini dibanderol seharga Rp9.350 per lembar.
Teranyar, rekomendasi sell datang dari analis Maybank Investment Willy Goutama yang menaruh target harga Rp5.600 per lembar bagi saham GGRM. Ada pula rekomendasi sell dari analis Indo Premier Sekuritas Andrianto Saputra dengan target harga Rp6.900.
Analis Indo Premier Sekuritas Andrianto Saputra dan Nicholas Bryan, dalam riset terbarunya, memandang tantangan cukai rokok berpotensi menghambat kinerja emiten rokok di Indonesia.
Mereka menilai prospek emiten rokok dibayangi kenaikan ganda CHT. Sebab, secara historis, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan ganda cukai setelah satu tahun tanpa penyesuaian.
“Karena tidak ada kenaikan cukai pada 2025, kami memperkirakan kenaikan yang lebih tajam dari biasanya kemungkinan besar terjadi pada 2026,” ucapnya.
Berdasarkan catatan Indo Premier, baik GGRM maupun pesaingnya, HMSP, tidak mampu meneruskan sepenuhnya beban kenaikan cukai sebagaimana terjadi pada 2020-2024. Hal ini tecermin dari penurunan margin laba kotor pada periode tersebut.
Oleh sebab itu, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, Andrianto dan Nicholas memperkirakan skenario serupa bakal terulang pada 2026.
“Meskipun valuasi saham sektor ini tergolong menarik, kami mempertahankan pandangan netral karena lemahnya daya penetapan harga serta potensi kenaikan ganda cukai pada 2026,” kata mereka.
Terakhir, peringkat buy disematkan oleh analis Sadif Investment Analyst terhadap BYAN. Sebelumnya, BYAN menargetkan produksi 69 juta—72 juta ton batu bara dan penjualan 70 juta—72 juta ton pada 2025.
Manajemen BYAN dalam keterangannya menuturkan volume produksi batu bara pada tahun ini diperkirakan meningkat antara 20% hingga 25%, sejalan dengan ekspansi yang berlanjut.
Dari sisi kinerja, harga jual batu bara diperkirakan berkisar US$58—60 per ton. Dengan proyeksi harga tersebut, BYAN memperkirakan pendapatan pada 2025 akan mencapai US$4,1 miliar hingga US$4,4 miliar.
Manajemen BYAN menyampaikan bahwa perseroan menganggarkan capex sebesar US$200 juta hingga US$300 juta pada 2025, yang mayoritas dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.