Bisnis.com, JAKARTA — Pasar surat utang Indonesia dan global diprediksi akan terpengaruh kebijakan agresif The Fed yang mengerek suku bunga 50 basis poin.
Bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed akhirnya mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga 50 basis poin usai rapat FOMC, Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia.
Kebijakan tersebut akan membuat kisaran target untuk suku bunga dana federal mencapai 0,75 persen hingga 1 persen, dibandingkan kisaran sebelumnya yang berada pada rentang 0,25 persen hingga 0,5 persen.
Berdasarkan catatan Bloomberg, ini merupakan kenaikan paling agresif yang pernah dilakukan The Fed sejak tahun 2000. The Fed mengatakan bahwa kenaikan ini terpaksa ditempuh demi menetralisir kondisi inflasi AS.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto sebelumnya telah memperkirakan yield surat utang negara (SUN) baik Indonesia maupun global masih berpotensi melemah karena rencana The Fed yang akan menaikkan suku bunganya dalam waktu dekat.
“Kita lihat hari ini yield SUN Indonesia tenor 10 tahun terus melemah ya. Dan ini kalau saya lihat masih akan berlanjut pelemahannya,” ujar Ramdhan kepada Bisnis, Selasa (26/4/2022).
Baca Juga
Adanya rencana The Fed menaikkan suku bunga yang menurut Ramdhan akan melemahkan yield SUN juga memunculkan potensi Bank Indonesia (BI) turut menaikkan suku bunga di Tanah Air dalam waktu dekat.
Langkah menaikkan suku bunga oleh BI sendiri menurut Ramdhan merupakan salah satu upaya untuk mencegah dana asing keluar dari pasar domestik. Oleh sebab itu, Ramdhan mengungkapkan pasar obligasi ikut tertekan.
Belum adanya kepastian kapan dan bagaimana rencana kenaikan suku bunga The Fed, menurut Ramdhan membuat ketidakpastian global meningkat, sehingga tekanan terhadap yield dalam jangka pendek akan terus berlanjut hingga kondisi eksternal lebih stabil.
“Kondisi ini membuat akhirnya investor cukup hati-hati masuk ke pasar obligasi sehingga likuiditasnya jadi turun dan itu menambah pelemahan pasar obligasi,” ungkap Ramdhan.
Ditambah lagi, daya tarik US Treasury yang masih menarik yang ungkap Ramdhan turut membuat pasar obligasi domestik lebih rentan.
Ramdhan juga menyampaikan, selain adanya potensi kenaikan suku bunga pasar obligasi juga dipengaruhi oleh adanya ketegangan geopolitik antara Rusia-Ukraina yang membuat harga komoditas naik dan memicu naiknya inflasi. Karena adanya sentimen global tersebut Ramdhan menyampaikan investor jadi beralih ke safe haven.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, yield SUN Indonesia termasuk yang paling tinggi sehingga potensi pelemahannya turut tinggi.
Namun Ramdhan mengatakan yang menjadi kekuatan pasar obligasi domestik adalah likuiditas domestik masih cukup baik yang akhirnya menahan pelemahan.
“Kalau kondisi eksternalnya stabil, instrumen SBN kita ini relatif cukup kuat, terbukti dari kondisi pandemi kemarin recovery-nya cepat apalagi sekarang didukung dari kondisi likuiditas kita yang baik,” katanya.