Bisnis.com, JAKARTA - Laba bersih emiten kertas PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) tercatat tumbuh 79,2 persen secara tahunan pada 2021 menjadi USS527,1 juta.
Analis KB Valbury Sekuritas Alfiansyah dan Devi Harjoto dalam risetnya mengatakan, masih terdapat peluang bagi INKP untuk tumbuh di 2022. Mereka memperkirakan pertumbuhan penjualan INKP sebesar 7 persen year-on-year (YoY) pada 2022, dengan kontribusi ekspor dan pasar lokal stabil.
"Akan tetapi, kami melihat adanya peluang permintaan Cina yang berkurang pada semester I/2022, di tengah adanya lockdown yang dilakukan pemerintah China di Shanghai yang menjadi basis industri," kata Alfiansyah dan Devi, dikutip Minggu (17/4/2022).
Menurutnya, China memperkirakan pertumbuhan PDB tahun ini lebih rendah 5,5 persen YoY tahun ini karena adanya risiko dari reformasi struktural dan kebijakan zero Covid-19 policy.
Namun, disisi lain, KB Valbury Sekuritas memperkirakan adanya tren belanja e-commerce, baik dari global maupun domestic, juga adanya perpindahan penggunaan dari plastik ke kertas untuk alasan lingkungan, di tambah dengan rencana pajak plastik mendorong permintaan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, pihaknya memperkirakan adanya tantangan dari kenaikan harga komoditas berpotensi mengoreksi margin INKP. Adapun, kenaikan inflasi dapat menjadi ancaman yang dapat menurunkan daya beli, sehingga menurunkan penggunaan kertas.
Baca Juga
KB Valbury Sekuritas merekomendasikan investor untuk buy saham INKP, dengan target harga Rp9.300 per saham, yang merepresentasikan perkiraan valuasi PE 2022 pada level 5,62 kali.
Adapun rekomendasi ini dibuat berdasarkan beberapa faktor, yakni membaiknya performa seiring dengan perbaikan ekonomi global sehingga mendorong penjualan ekspor.
Lalu, tren pertumbuhan belanja via online dan juga kesadaran ramah lingkungan yang tinggi yang menghindari plastik, juga kemungkinan penggunaan bea plastik mendorong permintaan terhadap kertas.
Faktor selanjutnya yakni neraca yang terjaga sehingga memudahkan untuk berekspansi dan penguatan dolar Amerika Serikat.
Akan tetapi, menurut Alfiansyah dan Devi terdapat beberapa resiko yakni penjualan yang melemah dari China ditengah lockdown dan domestic karena kenaikan inflasi, meningkatnya harga komoditas energi, dan kenaikan suku bunga FFR yang agresif, sehingga mendorong koreksi komoditas kertas.