Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan teknologi raksasa alias unicorn di Indonesia makin lantang menyatakan minat untuk melakukan penawaran umum saham perdana atau intial public offering. Bagaimana kesiapan regulasi Bursa Efek Indonesia untuk menyambutnya?
Usai aksi merger antara Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo Group terlaksana, perusahaan yang identik dengan warna hijau tersebut makin buka-bukaan terkait rencananya untuk menggalang dana dari pasar modal.
Pendiri Tokopedia William Tanuwijaya mengatakan perusahaan tengah mempersiapkan proses IPO dan menargetkan dapat melantai di Bursa pada tahun ini.
“Pasti [IPO] ya, itu kan mimpi besar, cita-cita yang harus terwujud ah. Kitat erus bekerja keras, harapannya bisa dalam tahun ini kita melantai. Ini tentunya pekerjaannya, governancenya harus kita persiapkan dengan baik,” ujarnya dalam sesi bincang-bincang bersama Deddy Corbuzier yang diunggah di kanal Youtube Deddy, dikutip Bisnis, Selasa (22/6/2021)
Bukan hanya GoTo, unicorn lainnya yakni Bukalapak pun dikabarkan bakal segera melantai di awal semester II/2021, tepatnya di Agustus.
Tak tanggung-tanggung, e-commerce satu ini bakal melakukan dual listing, yaitu satu lagi di AS dengan menggunakan skema penggabungan dengan perusahaan akuisisi tujuan khusus atau special purpose acquisition company (SPAC).
Baca Juga
Lantas, apakah regulasi di bursa dalam negeri telah siap menyambut para unicorn ini? Termasuk dengan perhitungan valuasinya yang berbeda dengan perusahaan konvensional, skema saham dengan hak suara multiple (SHSM), serta SPAC?
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna mengatakan BEI tengah merevisi peraturan I-A dengan memasukkan lima alternatif persyaratan bagi calon perusahaan tercatat, termasuk unicorn, untuk dapat listing di papan utama dan papan pengembangan.
Alternatif persyaratan tersebut antara lain aset berwish berwujud (net tangible asset) dan laba usaha; agregat laba sebelum pajak 2 tahun terakhir dan nilai kapitalisasi pasar; pendapatan dan nilai kapitalisasi pasar; total aset dan nilai kapitalisasi pasar; dan terakhir operating cashflow kumulatif 2 tahun terakhir dan nilai Kapitalisasi Pasar.
“Alternatif-alternatif persyaratan tersebut sisesuaikan dengan best practice yang diterapkan di Bursa lain dengan harapan dapat membuka kesempatan yang lebih lebar bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk dapat tercatat di BEI,” ujar Nyoman kepada awak media, belum lama ini.
Adapun, menurutnya saat ini pihak BEI masih dalam tahap finalisasi Revisi Peraturan I-A tersebut dan tengah menanti permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Besar harapan kami Peraturan I-A yang baru ini dapat diterapkan segera,” imbuhnya.
Di sisi lain, OJK juga tengah menyusun rancangan peraturan OJK (RPOJK) anyar terkait pelaksanaan penawaran umum dengan perusahaan yang menerapkan multiple voting shares (MVS) atau saham dengan hak suara multiple (SHSM).
Nyoman mengatakan, BEI turut turut memberikan tanggapan dan masukan atas RPOJK SHSM. Pun, apabila diperlukan, BEI akan merancang pengaturan pelaksana untuk RPOJK tersebut terkait hal-hal teknis seperti pengaturan pencatatan dan perdagangan.
Kemudian, dia juga menyinggung perihal kewajiban minimum free float yang dilakukan pada saat IPO bagi para perusahaan unicorn, yang mana masih sesuai dengan peraturan I-A yang saat ini masih berlaku.
“Pengaturan saat ini, bahwa minimum persentase saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dan pemegang saham utama ditentukan tergantung dari besaran nilai ekuitas suatu perusahaan,” kata Nyoman.
BEI mengatur besaran free float dengan nilai ekuitas secara berjenjang mulai dari kurang dari Rp500 miliar, Rp500 miliar–Rp2 triliun, dan lebih dari Rp2 triliun, maka minimum persentase besaran yang harus dimiliki oleh pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama adalah sebesar 20 persen, 15 persen, dan 10 persen.