Bisnis.com, JAKARTA - Meski sempat kembali volatil, prospek pasar obligasi hingga akhir tahun ini masih cerah dan tingkat yield berpotensi turun lebih jauh seiring penguatan rupiah dan peluang pemangkasan lanjutan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan data worldgovernmentbonds.com, per 18 Oktober 2020, yield SUN tenor 10 tahun tercatat sebesar 6,86 persen dengan spread terhadap Treasury AS tenor 10 tahun sebesar 611,4 bps.
Sementara itu, Credit Default Swap (CDS) 5 tahun berada pada level 94,81 yang mencerminkan probabilitas default sebesar 1,58 persen. Adapun, selama sebulan terakhir level CDS tercatat naik 2,35 persen dengan level tertinggi menyentuh level 171,8.
CIO Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula mengatakan tahun ini pasar obligasi memang volatil. Pun, selama beberapa pekan belakangan pasar cenderung datar dan sempat melemah. “Sebulan dua bulan terakhir yield sempat menuju 7 persen, rupiah juga mendekati Rp15.000, dan investor asing belum kembali,” katanya kepada Bisnis, Sabtu (18/10/2020)
Meskipun demikian, Ezra menilai sejumlah sentimen negatif yang membuat pasar obligasi bergejolak sudah lewat, seperti kekhawatiran akan rencana amandemen UU Bank Indonesia yang dikhawatirkan akan merusak independensi Bank Sentral.
Selain itu, di Q4/2020 rupiah juga diproyeksikan akan lebih stabil dengan tren menguat. Ezra menyebut secara historis biasanya kinerja rupiah di kuartal III memang cenderung melemah apalagi ditambah dolar AS yang kian perkasa akibat adanya repatriasi dividen. “Perusahaan yang sebelumnya mau repatriasi dividen di kuartal II mereka delay dan baru issue dividennya di kuartal III, jadi demand untuk USD menguat,” jelas Ezra.
Baca Juga
Di lain pihak, Ezra menyebut investor juga sudah mulai priced in seiring dengan Pemilu AS yang semakin dekat. Pasalnya, kini investor telah memiliki gambaran yang lebih terang mengenai siapa yang akan memenangkan kursi Presiden AS. “Harapannya di kuartal IV ini akan lebih stabil,” imbuh dia.
Senada, Head of Fixed Income BNI Sekuritas Ariawan mengatakan volatilitas pasar diperkirakan akan mereda usai Pemilu AS. Pun, selesainya hajatan politik di Negeri Paman Sam bakal menjadi katalis positif untuk pasar obligasi Indonesia. “Asing yang masih banyak wait and see akan mulai masuk, meski memang tidak akan terlalu agresif juga,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Sabtu (17/10/2020)
Lebih lanjut, dia menilai peluang untuk penurunan yield hingga akhir tahun masih terbuka. Faktor utamanya, pemulihan ekonomi domestik menjadi pendukung pergerakan nilai tukar rupiah agar kembali menguat.
Selain itu, masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk memangkas kembali suku bunga acuan sekali lagi sebelum akhir tahun yang akan menjadi katalis positif. Saat ini, BI 7 Days Reverse Repo Rate ada di level 4 persen setelah turun 100 bps sejak awal tahun.
“Dengan skenario ini target yield saya antara 6,50 sampai 6,70 untuk moderatnya. Tapi kalau BI pangkas suku bunga acuan sekali lagi lalu rupiah bisa menguat ke arah Rp14.000 harusnya sih bisa sampai 6,20 persen. Itu target optimisnya,” tutur Ariawan.
Head of Economic Research Pefindo Fikri C. Permana menuturkan, secara umum pergerakan harga surat utang khususnya SBN seharusnya positif di kuartal terakhir tahun ini, meski memang masih dibayangi pandemi.
Optimistime kehadiran vaksin di akhir tahun termasuk kerja sama antara Indonesia dan sejumlah produsen vaksin asal China, Inggris, dan lainnya diharapkan dapat menjaga pergerakan pasar.
Selain itu, Fikri menilai ekonomi Indonesia juga mulai menunjukkan tanda-tanda positif, terlihat dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mengindikasikan bahwa kegiatan dunia usaha membaik pada kuartal III/2020. “Tapi dari tenaga kerja mungkin masih akan jadi PR pemerintah karena masih akan ada layoff dan dampak lanjutan dari pandemi ini di tahun mendatang,” tambah dia.
Di sisi lain, tambahnya, neraca keuangan pemerintah per akhir September 2020 juga positif dengan mencatat surplus US$2,44 miliar. Adapun, sepanjang kuartal III/2020 selalu positif dengan akumulasi surplus sepanjang kuartal mencapai US$8,01 miliar. “Defisit APBN mulai terjaga, suplai SBN juga terjaga,” kata Fikri.
Dia memperkirakan tambahan suplai SBN yang akan terbit dan ditawarkan hingga akhir tahun masih bisa diserap pasar, setidaknya oleh para investor domestik jika investor asing masih belum agresif.
Menurutnya, hal tersebut akan menjadi katalis positif bagi pasar obligasi karena likuiditas akan terus terjaga sehingga bisa mendorong penurunan yield lebih lanjut. Dia memperkirakan yield bisa mencapai level 6,50 persen di akhir tahun.
Mengenai kepemilikan asing di surat utang dalam negeri, Fikri menyebut porsinya kemungkinan tak berbeda jauh hingga akhir tahun karena ada porsi burden sharing dengan pemerintah dan likuiditas dalam negeri terutama perbankan masih melimpah.
“Jadi di akhir tahun mungkin masih sekitar 30 persen, tapi di tahun mendatang itu beda cerita. Porsi asing ini terus mengecil bukan hanya karena mereka keluar. Asing itu keluar masuk, tapi memang kepemilikan domestik sangat tinggi,” tukasnya.