Bisnis.com, JAKARTA - Dalam beberapa perdagangan terakhir kilau emas tampak tak begitu mengilap lagi dibandingkan dengan masa kejayaannya pada periode Maret hingga Agustus 2020.
Namun, apakah masa kilau emas benar sudah kadaluarsa untuk tahun ini?
Untuk diketahui, pada pekan lalu emas dan logam mulia lainnya membukukan kinerja mingguan terburuk sejak Maret 2020 ketika serangan pandemi Covid-19 menyerbu dunia dan membuat pasar panik dan berpihak kepada dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, harga emas di pasar spot telah merosot hingga 4,6 persen pada pekan ini hingga ditutup di level US$1.861,58 per troy ounce, meninggalkan level support kuatnya di US$1.900 per troy ounce.
Sementara itu, untuk harga emas berjangka kontrak teraktif di bursa Comex, Desember 2020, berada di level US$1.866,3 per troy ounce, melemah 0,56 persen pada penutupan perdagangan Jumat (25/9/2020).
Baca Juga
Di sisi lain, logam mulia lainnya, harga perak merosot 15 persen, platinum terkoreksi 9,07 persen, dan paladium melemah 6,44 persen sepanjang pekan lalu.
Analis ED&F Man Capital Markets di New York Edward Meir mengatakan bahwa emas melemah karena aksi likuidasi oleh investor setelah logam mulia itu mengalami reli panjang yang membawa emas menyentuh level tertinggi sepanjang masa di US$2.000 per troy ounce.
“Selain itu, emas juga tertekan kekuatan dalam indeks dolar umum, yang berada di jalur untuk kenaikan mingguan terbesar dalam hampir enam bulan perdagangan terakhir,” ujar Meir seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (27/9/2020).
Dolar AS naik karena kekhawatiran pasar atas prospek pertumbuhan ekonomi global yang mendorong daya tarik mata uang itu sebagai tempat berlindung seperti yang terjadi pada medio Maret lalu, melemahkan permintaan emas.
Keyakinan ‘Cash is The King’ dikhawatirkan kembali menyelimuti investor seiring dengan kasus positif Covid 19 yang meningkat, terutama di Eropa, sehingga berpotensi menyebabkan lebih banyak negara kembali menerapkan lockdown dan merusak prospek pemulihan.
Padahal, indeks tersebut telah turun lebih dari 10 persen dari level tertinggi Maret ke level terendah tahun ini pada September, karena hedge fund semakin berubah menjadi bearish pada dolar AS dalam beberapa bulan terakhir.
Adapun, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak menguat hingga 2 persen sepanjang pekan lalu, menjadi kinerja mingguan terbaik sejak April 2020.
Ketua Hedge Fund Great Hill Capital LLC di New York Thomas J. Hayes mengatakan bahwa greenback adalah pilihan investasi yang aman untuk saat ini sampai pasar mendapatkan informasi baru tentang vaksin, pendapatan, pemilu AS, hingga stimulus baru oleh pemerintah dan bank sentral.
“Sampai saat itu terjadi, dolar kemungkinan sudah mencapai titik terendahnya dalam jangka pendek dan akan segera bangkit,” ujar Hayes.
Sementara itu, Analis Commerzbank AG Carsten Fritsch mengatakan bahwa reli emas terhenti karena pandangan yang meredup dari upaya bank sentral untuk membantu memulihkan inflasi. Untuk diketahui, emas sering digunakan sebagai aset lindung nilai inflasi oleh investor.
Hal itu tercermin dari jajaran pejabat Federal Reserve yang mengatakan bahwa bank sentral sendiri tidak dapat meningkatkan harga dan ekonomi akan goyah tanpa bantuan lebih lanjut.
“Berkurangnya kekhawatiran tentang inflasi karena meningkatnya angka positif Covid-19 mungkin ada hubungannya dengan pelemahan emas,” ujar Fritsch.
Belum Akan Redup
Di sisi lain, Business Manager Indosukses Futures Suluh Adil Wicaksono mengatakan bahwa kilau emas belum akan meredup untuk tahun ini. Dia menilai akhir tahun ini emas masih berpotensi kembali menyentuh US$2.000 per troy ounce, meski terlihat berat secara teknikal.
Pasalnya, sejak menyentuh level rekor tertingginya di US$2.082 per troy ounce, mendorong harga dalam posisi overbought. Selain itu, emas juga tengah bersaing dengan minat pelaku pasar yang bergeser ke aset safe haven dolar AS.
“Faktor fundamental masih akan berpotensi mendukung emas. Tekanan berat nanti di November seiring dengan political issue, pilpres AS. Dolar AS akan berusaha menekan emas,” ujar Suluh kepada Bisnis, Jumat (25/9/2020).
Dengan demikian, potensi fundamental yang mendukung itu akan membuat investor memanfaatkan pelemahan ini untuk buy on low dan emas akan kembali menguat.
Apalagi, ketidakpastian pandemi Covid-19 yang juga belum kunjung usai dan komitmen bank sentral AS menahan suku bunga mendekati nol untuk jangka waktu panjang akan menjadi katalis positif bagi emas.
Dia juga menjelaskan, meski emas melemah pada bulan, setidaknya akumulasi tahun ini emas sudah naik sebanyak 20 persen.
Senada itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono menilai harga emas global dalam jangka panjang masih akan menguat. Hal itu pun diyakini akan mendorong naik harga emas buatan dalam negeri, emas Antam.
Berdasarkan informasi Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia Antam, harga emas ukuran 1 gram dibanderol Rp1.006.000 pada Minggu (27/9/2020). Dalam sepekan terakhir, harga telah melemah 1,7 persen.
"Ada atau tidaknya vaksin, jika kebijakan major bank central utamanya the Fed melakukan pelonggaran moneter maka emas akan menguat dan emas Antam potensial ikut menguat juga nantinya," katanya kepada Bisnis Sabtu (26/9/2020).
Menurut Wahyu, harga emas Antam masih dapat berpotensi menuju Rp1,1 juta sampai Rp1,2 juta. Dia juga menilai, saat ini pasar hanya menunggu soal waktu agar rekor tertinggi emas dapat ditembus kembali.