Bisnis.com, JAKARTA – Surat utang dari negara berkembang Asia menarik permintaan tinggi dari investor global tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang tidak terduga-duga.
Berdasarkan data Bloomberg, perusahaan dan penerbit non-pemerintah di kawasan Asia Pasifik telah menerbitkan obligasi sekitar $1,5 triliun dalam mata uang lokal kawasan pada periode tahun berjalan 2025.
Realisasi itu meningkat 6% dari periode yang sama tahun lalu atau menjadi rekor tertinggi untuk periode ini. Adapun, penawaran pada kuartal II/2025 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah untuk periode tiga bulanan.
Daniel Tan, Manajer Portofolio Grasshopper Asset Management, melihat lebih banyak pembeli obligasi Asia berdenominasi mata uang lokal saat ini dibandingkan sebelum April 2025.
"Ada arus masuk yang besar dari dana pensiun dan dana kekayaan negara yang ingin melakukan diversifikasi dari aset berbasis dolar," kata Tan, dikutip Bloomberg pada Rabu (23/7/2025).
Adapun, momentum emisi obligasi di Benua Kuning meningkat sejak 2 April 2025 yaitu ketika Presiden Trump mengejutkan pasar dengan pengumuman tarif resiprokal.
Tarif itu ditunda beberapa hari kemudian karena Negeri Paman Sam membuka periode negosiasi dagang. Pengumuman tarif itu membuat pasar saham merosot dan imbal hasil obligasi melonjak.
Meskipun aset berisiko mengalami pemulihan, investor kredit telah melakukan lindung nilai terhadap volatilitas terkait tarif dan pelemahan dolar dengan beralih ke kawasan yang lebih minim risiko.
Pergeseran ini tercermin dalam kinerja pasar Indeks Bloomberg Asia Pacific Aggregate yang melacak berbagai obligasi dalam mata uang lokal, naik 3,9% tahun ini, melampaui imbal hasil 3,5% dari indeks setara di AS.
Angus Hui, Wakil Kepala Investasi dan Kepala Divisi Pendapatan Tetap Fullerton Fund Management, Singapura, menjelaskan diversifikasi ke pasar obligasi Asia yang lebih luas dalam mata uang lokal kemungkinan akan semakin cepat.
"Tren de-dolarisasi turut menyoroti kredit berbasis mata uang lokal, khususnya di pasar dengan peringkat kredit negara AAA seperti Australia dan Singapura," ujar Hui.
Dulu pasar obligasi Asia dianggap sebagai ceruk, kini ternyata menarik perhatian investor berkat ekonomi lokal yang semakin kuat.
Data Bloomberg mencatat sejumlah perusahaan di India, misalnya, berhasil menghimpun dana sebesar 6,6 triliun rupee atau setara dengan U$76,4 miliar, melalui penerbitan obligasi mata uang lokal selama paruh pertama 2025.
Selanjutnya di China sudah terbit obligasi lebih dari US$1 triliun dalam mata uang lokal tahun ini. Adapun, biaya pinjaman yang menurun membuat pembiayaan semakin menarik bagi perusahaan domestik.
Selanjutnya, Australia yang mempertahankan peringkat AAA dari S&P Global Ratings, Fitch Ratings, dan Moody’s Ratings juga banyak diburu. Sebaliknya, AS telah kehilangan peringkat tertinggi dari ketiga lembaga pemeringkat tersebut akibat meningkatnya biaya layanan utang.