Bisnis.com, JAKARTA — Bursa saham Asia dibuka variatif pada Kamis (3/7/2025) setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tercapainya kesepakatan dagang dengan Vietnam.
Melansir Bloomberg, indeks MSCI Asia Pacific naik 0,2% setelah S&P 500 ditutup menguat pada level tertinggi barunya. Indeks Topix Jepang terpantau turun 0,16% pada level 2.821,50, sedangkan indeks Kospi Korea Selatan dibuka menguat 0,83% pada 3.100,49.
Selanjutnya, saham S&P/ASX 200 Australia terpantau terkoreksi 0,27% pada kisaran 8.574,40
Berita tentang kesepakatan perdagangan AS-Vietnam memberikan sentimen positif terhadap saham-saham sektor apparel seperti Nike Inc., seiring harapan bahwa kesepakatan ini dapat mencegah gangguan rantai pasok yang lebih luas.
Terkait kesepakatan dagang dengan Vietnam, Trump menyatakan bahwa kesepakatan tercapai setelah melalui negosiasi selama beberapa pekan.
Berdasarkan kesepakatan itu, AS akan mengenakan tarif 20% terhadap banyak produk ekspor Vietnam, dan tarif 40% terhadap barang-barang yang dianggap sebagai produk transshipment atau barang asal negara lain yang hanya melalui Vietnam.
Baca Juga
Trump juga mengklaim Vietnam sepakat untuk menghapus seluruh tarif atas produk impor dari AS. Ketentuan mengenai transshipment dipandang sebagai langkah yang menargetkan ekspor China secara tidak langsung. Meski rincian implementasinya belum jelas, pasar mencemaskan potensi respons dari Beijing.
Sementara itu, dolar AS melemah dan bertahan di dekat posisi terendah tiga tahunnya, mencerminkan berlanjutnya tekanan terhadap mata uang tersebut.
Pada pasar obligasi, imbal hasil (yield) Treasury AS sedikit turun pada perdagangan awal sesi Asia, setelah sebelumnya naik akibat aksi jual besar-besaran di Inggris. Kekhawatiran kembali muncul terkait posisi fiskal Inggris menyusul spekulasi mengenai masa depan Kanselir Keuangan Rachel Reeves.
Di Jepang, obligasi tenor 10 tahun melemah menjelang lelang obligasi pemerintah 30 tahun yang dijadwalkan berlangsung pukul 12.35 waktu Tokyo.
Pergerakan lintas kelas aset mencerminkan optimisme yang hati-hati di kalangan pelaku pasar menjelang rilis data ketenagakerjaan AS yang krusial. Data ini diperkirakan akan memberikan arah baru bagi kebijakan suku bunga The Fed.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer berupaya meredakan ketidakpastian pasar dengan menyatakan bahwa Rachel Reeves akan tetap menjabat sebagai Kanselir Keuangan, di tengah spekulasi yang sempat memicu aksi jual obligasi Inggris.
Seperti di Inggris, pelaku pasar AS juga mencermati dinamika politik, di mana rancangan undang-undang ekonomi Trump mengalami kebuntuan di DPR AS setelah faksi konservatif Partai Republik menunda pemungutan suara prosedural penting pada Rabu sore.
Sementara itu, data ketenagakerjaan bulanan non-farm payrolls AS yang dijadwalkan rilis pada Kamis waktu setempat diperkirakan menunjukkan perlambatan perekrutan tenaga kerja dan tingkat pengangguran tertinggi sejak 2021. Kondisi ini mencerminkan dampak awal dari perubahan kebijakan perdagangan dan imigrasi pemerintahan Trump.
Chris Zaccarelli dari Northlight Asset Management menyebut, selama ini The Fed bisa bersabar dalam memangkas suku bunga karena pasar tenaga kerja masih cukup kuat.
"Tapi jika data menunjukkan pelemahan signifikan, The Fed mungkin akan dipaksa untuk bertindak lebih cepat dari yang mereka harapkan,” ujarnya.
Setelah laporan ADP yang menunjukkan penurunan signifikan pada payroll sektor swasta, para pelaku pasar meningkatkan ekspektasi pemangkasan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini, dengan langkah pertama kemungkinan dimulai pada September.