Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah perkembangan makroekonomi baik dari dalam maupun luar negeri belum ada yang mampu menopang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ke zona hijau.
Realokasi anggaran dari dalam negeri dan kebijakan perang dagang AS vs China dari luar negeri disebut bakal menghantui gerak harga saham Tanah Air.
Pengamat Pasar Modal sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Budi Frensidy menjelaskan realokasi anggaran yang tidak memihak kepada makro ekonomi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); penurunan daya beli; serta berkurangnya jumlah masyarakat kelas menengah menjadi salah satu pemberat langkah indeks komposit belakangan ini.
“Sektor riil akan berat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai indikator pasar keuangan biasanya mengikuti sektor riil,” kata Budi ketika dihubungi Bisnis baru-baru ini.
Dari eksternal, manuver Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan kebijakannya yang dipandang kontroversial juga menjadi sorotan. Budi menyebut diturunkannya peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW) beberapa waktu lalu tidak terlepas dari gaya kepemimpinan Trump.
Selain itu, tambahnya, regulator dan otoritas belum menjalankan fungsi utamanya, yaitu memberikan perlindungan kepada investor. Hal itu tercermin dari kualitas lebih dari separuh emiten anyar yang buruk.
Baca Juga
“Dan beberapa [emiten baru IPO] dicurigai melakukan rekayasa keuangan yang merugikan investor. Ini menunjukkan regulator dan otoritas belum menjalankan fungsi utamanya yaitu perlindungan investor,” ucap Budi.
Dia berpendapat kondisi seperti itu terjadi salah satunya karena ketidakhati-hatian emiten baru. Emiten yang baru IPO tersebut terkesan mengambil langkah kejar setoran, serta tidak adanya kewajiban audit terhadap laporan keuangan interim perusahaan yang akan IPO.
Ke depan, Budi berharap bukan target berbasis kuantitas yang dikedepankan sehingga mengorbankan kualitas. Selain itu, audit terhadap laporan keuangan interim perusahaan yang hendak melakukan IPO juga disarankan harus diwajibkan.
“Libatkan external experts, observers, serta reviewers untuk IPO emiten yang jumbo, kompleks, dan mencurigakan. Terutama yang pemegang sahamnya mayoritas asing. Tidak cukup hanya KAP Big Four, tetapi juga Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai kewajaran aset di pembukuannya,” ucap Budi.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.