Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah global kembali melemah pada Rabu (29/1/2025) menyusul lonjakan stok minyak mentah AS yang melampaui ekspektasi pasar.
Melansir Reuters, Kamis (30/1/2025), kontrak berjangka Brent turun 1,2% ke US$76,58 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 1,6% ke US$72,62 per barel, level terendah sejak awal tahun.
Data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS naik 3,46 juta barel pekan lalu, lebih tinggi dari perkiraan analis sebesar 3,19 juta barel. Penurunan tingkat konsumsi kilang untuk tiga pekan berturut-turut menjadi faktor utama lonjakan persediaan ini.
Gedung Putih kembali menegaskan rencana Presiden Donald Trump untuk mengenakan tarif 25% pada impor minyak dari Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari 2025.
Langkah ini berisiko meningkatkan volatilitas di pasar energi, mengingat para pelaku pasar juga tengah menghadapi dampak sanksi terhadap ekspor energi Rusia serta kekhawatiran perlambatan ekonomi di negara-negara konsumen utama.
Analis UBS Giovanni Staunovo memperingatkan bahwa ketidakpastian yang masih dominan membuat pendekatan hati-hati tetap diperlukan.
Baca Juga
"Kami memperkirakan harga minyak tetap mendapat dukungan di level saat ini, tetapi pergerakan pasar dalam jangka pendek kemungkinan akan dipengaruhi oleh berita terkait kebijakan Trump," jelasnya, seperti dikutip Reuters.
Keputusan Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga pada Rabu tanpa memberikan indikasi jelas mengenai potensi pemangkasan di masa depan juga menjadi perhatian.
Para pelaku pasar kini mengalihkan fokus ke pertemuan menteri OPEC+ yang dijadwalkan pada 3 Februari. Organisasi tersebut telah merencanakan peningkatan produksi mulai April, meskipun Trump sebelumnya meminta OPEC+ untuk menurunkan harga minyak.
Sejumlah delegasi OPEC+menyatakan bahwa kebijakan kelompok tersebut kemungkinan tidak akan mengalami perubahan signifikan dalam pertemuan mendatang.
Di sisi lain, kekhawatiran terkait pasokan minyak sedikit mereda setelah Perusahaan Minyak Nasional Libya mengonfirmasi bahwa ekspor berjalan normal.
Hal ini terjadi setelah negosiasi dengan kelompok demonstran yang sempat mengancam akan menghentikan pengiriman minyak dari salah satu pelabuhan utama negara itu.
Namun, analis StoneX Alex Hodes mengingatkan bahwa pasokan Libya masih rentan terhadap risiko geopolitik.
"Konflik internal Libya tetap menjadi faktor risiko, meskipun untuk saat ini situasinya relatif stabil," ujarnya.