Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah dan menembus level Rp16.000 pada hari kedua Lebaran, Kamis (11/4/2024).
Berdasarkan laporan Google Finance, rupiah saat ini bercokol di level Rp16.003,10. Posisi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai tukar pada hari sebelumnya yang bertengger pada level Rp16.002, Rabu (10/4).
Meski demikian, jika mengacu data Bloomberg pada perdagangan Jumat pekan lalu (5/4), rupiah ditutup menguat 44 poin atau 0,28% ke Rp15.848. Sementara itu indeks dolar terpantau naik 0,11% ke level 104,010.
Adapun, pada hari ini, pasar global dikejutkan oleh data inflasi bulan Maret di Amerika Serikat. Dilansir dari Reuters Kamis (11/4/2024), consumer price index (CPI) Amerika Serikat (AS) meningkat lebih dari perkiraan konsensus pada Maret 2024.
Kondisi itu akibat masyarakat di Negeri Paman Sam terus membayar lebih untuk biaya bahan bakar dan sewa perumahan.
Sejalan dengan kondisi itu, pasar keuangan mengantisipasi bahwa The Fed akan menunda kebijakan pemangkasan suku bunga hingga September 2024 mendatang.
Baca Juga
Chief Market Strategist Carson Group Ryan Detrick mengatakan data inflasi yang kaku membuat investor berpikir untuk melakukan aksi jual.
“Kekecewaan itu menyebabkan penolakan tidak hanya pada potensi waktu penurunan suku bunga pertama tetapi juga berapa banyak penurunan suku bunga yang akan kita dapatkan,” jelasnya dilansir dari Reuters, Kamis (11/4/2024).
Sebelumnya, Chief Economist PermataBank Josua Pardede menuturkan ketidakpastian terkait arah suku bunga global terus meningkat. Hal ini seiring sikap bank-bank sentral utama dunia yang cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneter.
European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE), misalnya, memberikan sinyal dovish sehingga pemotongan suku bunga acuannya kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini.
Sementara itu, Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasinya yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasarannya.
Berbeda dengan kebanyakan bank sentral, Bank of Japan (BoJ) memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendek. Inflasi Jepang yang terus berada di atas target menjadi penyebabnya.
Lebih lanjut, the Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir justru merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti AS pada 2024. Kondisi ini menunjukkan ekonomi negeri Paman Sam masih relatif solid dan tangguh.
Perkembangan kondisi ekonomi AS terkini turut memperlihatkan pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan.
Kendati demikian, The Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan terbuka lebar pada tahun ini meski implementasinya tidak akan dilakukan secara terburu-buru.
“The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini,” kata Josua dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini.
Alhasil, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung berlainan membuat sentimen risiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia kembali meningkat. Utamanya pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date.
“Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke aset safe-haven sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah,” pungkasnya.
Pada saat yang sama, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi ketika ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Data terakhir menunjukkan surplus neraca dagang terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi China yang cenderung melemah. Alhasil, risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini kian meningkat.
Dari segi fiskal, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan baru ke depan yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.
Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, tetapi jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.
Hal itu memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan, sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun.
Josua menuturkan tantangan tersebut, baik dari sisi eksternal maupun domestik, akhirnya akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan waktu dan besaran pemotongan BI rate.
Dalam jangka pendek, adanya risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat BI cenderung mempertahankan BI rate pada level saat ini. Josua memperkirakan peluang pemangkasan kemungkinan terjadi pada paruh kedua 2024.