Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah melanjutkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat setelah data neraca perdagangan Juli 2023 memperlihatkan penurunan surplus baik secara bulanan maupun tahunan.
Nilai tukar rupiah ditutup turun 26,5 poin atau 0,17 persen menjadi Rp15.341,5 per dolar AS. Indeks dolar AS terkoreksi 0,03 persen ke level 103,154 pada pukul 15.10 WIB.
Rupiah melemah bersama dengan mayoritas mata uang Asia, seperti yuan China turun 0,38 persen, ringgit Malaysia turun 0,46 persen, won Korea turun 0,37 persen, dan dolar Taiwan turun 0,02 persen.
Neraca perdagangan Indonesia masih mencatat surplus US$1,31 miliar pada Juli 2023. Meski demikian, surplus neraca dagang Juli 2023 anjlok 63 persen dibandingkan capaian bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) yang mencapai U$3,54 miliar per Juni 2023.
Surplus neraca perdagangan Juli 2023 merupakan capaian selama 39 bulan secara berturut-turut sejak April 2020.
Analis Komoditas dan Founder Traderindo Wahyu Laksono menjelaskan pelemahan rupiah lebih dipengaruhi oleh menguatnya dolar terhadap berbagai mata uang utama, seiring dengan sentimen The Fed yang tetap hawkish.
Baca Juga
“Fundamental ekonomi kita masih baik, tetapi perlu digarisbawahi bahwa cadangan dolar kita tidak sebesar China atau Jepang, jadi data ekonomi di dalam negeri yang baik pun belum tentu berpengaruh terhadap dolar AS,” kata Wahyu ketika dihubungi, Selasa (15/8/2023).
Secara teknikal, Wahyu mengatakan Rp15.000 per dolar AS merupakan konsolidasi rupiah tahun ini, dengan Rp15.200—Rp15.300 diperkirakan tidak bertahan lama.
Sementara itu, Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi dalam riset hariannya menyebutkan pelemahan rupiah terjadi seiring dengan aksi jual obligasi di emerging market.
Hal itu turut dipicu oleh gagal bayar obligasi korporasi Country Garden yang telah menjalar ke sektor keuangan China. Salah satu yang terdampak adalah perusahaan manajemen aset Zhongzhi Group yang memiliki asset under management (AUM) sekitar US$137,8 miliar dan perusahaan ini menyetop pencairan investasi untuk seluruh nasabah mereka.
“Akibat peristiwa ini, indeks obligasi EMBI untuk emerging market turun 0,6 persen. Indeks IDMA domestik juga turun 0,2 persen,” tulis Lionel dalam riset.
Imbal hasil (yield) INDOGB 10Y dan 5Y meningkat masing-masing sebesar 5 dan 4 basis poin menjadi 6,39 persen dan 6,09 persen. Yield INDON naik untuk semua tenor sebesar 9 bps menjadi 5,07 persen (10Y) dan 5,08 persen (5Y) dan 4 basis poin menjadi 5,32 persen (2Y).
“Sementara itu, rupiah kemarin terdepresiasi tajam sebesar 0,7 persen menjadi Rp15,315 per dolar AS. Adapun depresiasi yuan China hanya tercatat 0,2 persen menjadi 7,26 yuan per dolar AS, diperkirakan karena intervensi dari Bank Sentral China (PBOC),” paparnya.
Samuel Sekuritas sebelumnya memprediksi aksi jual obligasi emerging market masih berlanjut hari ini dan yield 10Y INDOGB akan tertekan menuju rentang 6,4–6.5 persen.
“Hal ini diikuti depresiasi nilai tukar rupiah menuju rentang Rp15.300–Rp15.400 per dolar AS.”