Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Diproyeksi Melemah ke Rp15.200 Pekan Depan, The Fed jadi Biang Keladi

Rupiah diproyeksi melemah pekan depan ke Rp15.200 terimbas sinyal hawkish The Fed yang akan menaikan suku bunga untuk memerangi inflasi.
Ilustrasi utang pemerintah Indonesia dalam mata uang rupiah dan dolar AS. JIBI/Himawan L Nugraha. rn
Ilustrasi utang pemerintah Indonesia dalam mata uang rupiah dan dolar AS. JIBI/Himawan L Nugraha. rn

Bisnis.com, JAKARTA — Proyeksi pergerakan rupiah pekan depan masih dibayangi keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve soal potensi suku bunga pada pertemuan akhir Juli 2023 guna memerangi inflasi.

Analis Sinarmas Futures Ariston Tjendra mengatakan, sinyal terkait The Fed yang masih akan menaikkan suku bunga berimbas kepada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, rupiah pekan depan diprediksi akan mengalami tren pelemahan ke arah resisten Rp15.200.

"Sejauh ini isu kenaikan suku bunga The Fed sebanyak 2 kali lagi tahun ini masih membayangi pergerakan nilai tukar. Di awal pekan dolar sempat sedikit melemah karena data ekonomi yang dirilis di bawah ekspektasi pasar," ujar Ariston kepada Bisnis dikutip Minggu, (9/7/2023).

Sebagaimana diketahui, hasil risalah The Fed dari pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 13-14 Juni mengisyaratkan para pejabat akan menaikkan dua kali suku bunga sebesar 25 basis poin atau satu kali kenaikan 50 basis poin sebelum akhir tahun.

Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS ditutup melemah 0,87 persen ke level 102,27 pada akhir perdagangan Jumat, (7/7/2023).

Sementara itu, rupiah juga ditutup melemah ke posisi Rp15.142 terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan.

"Data ekonomi AS yakni data tenaga kerja versi pihak swasta ADP dan PMI sektor jasa dirilis lebih bagus dari prediksi sehingga ini menguatkan sinyal dari Bank Sentral yang masih ingin menaikan suku bunganya lagi yang mengakibatkan penguatan dolar AS," katanya.

ADP non-pertanian merupakan data perubahan jumlah tenaga kerja AS di luar sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan serta pegawai negeri sipil AS, yang dilakukan oleh lembaga ADP. Data terbaru menunjukkan kenaikan 497.000 untuk bulan Juni, dibandingkan revisi bulan Mei yang turun menjadi 267.000.

Sedangkan data PMI Non-Manufaktur ISM AS terbaru bulan Juni sebesar 53,9 persen dari sebelumnya 50,3 persen pada Mei. Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan 51 persen. Investor juga masih menunggu data inflasi AS yang dirilis pekan depan.

"Pergerakan dolar ini memang masih bergantung dari data-data ekonomi AS yang akan dirilis ke depannya. Semakin bagus data ekonomi AS, dolar AS semakin menguat karena ini mendukung kebijakan pengetatan moneter untuk menurunkan tekanan inflasi AS," jelasnya.

Menurutnya, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS pekan ini sudah mengalami kenaikan, yang artinya pasar mengantisipasi kebijakan kenaikan suku bunga acuan AS. Alhasil, tendensi penguatan dolar AS karena sentimen The Fed menurutnya masih cukup besar.

"Pekan depan ada potensi pelemahan [rupiah] ke arah resisten di Rp15.200, sementara potensi penguatan ke arah Rp15.000," pungkas Ariston.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper