Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah, terimbas sentimen kebijakan suku bunga The Fed yang diperkirakan tetap agresif di pengujung tahun.
Mengutip data Bloomberg, mayoritas mata uang di Asia melemah di hadapan dolar AS dengan rupiah melemah 61 poin atau 0,40 persen ke Rp15.488 per dolar AS. Pelemahan rupiah terjadi meski indeks dolar AS juga melemah 0,30 persen ke 112,96.
Di Asia, won Korea Selatan memimpin pelemahan 0,46 persen, diikuti dolar Taiwan melemah 0,29 persen, ringgit Malaysia melemah 0,26 persen, dan yuan China melemah 0,13 persen. Di sisi lain ada baht Thailand yang menguat 0,35 persen.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Roger M.M. menjelaskan pelemahan rupiah dipicu oleh kebijakan agresif The Fed dalam menaikkan suku bunga. Suku bunga acuan diperkirakan kembali dinaikkan pada pertemuan Bank Sentral AS pada November atau Desember 2022.
“Dampak pelemahan rupiah berefek ke IHSG, terlihat saat ini sudah menjauhi level 7.000,” kata Roger ketika dihubungi Bisnis, Senin (17/10/2022).
Research Analyst MNC Sekuritas Raka Junico mengatakan penguatan dolar AS dipicu oleh ekspektasi inflasi awal Oktober 2022 di AS yang masih tinggi. Terdapat potensi inflasi kembali naik bulan ini sehingga menumbuhkan spekulasi pasar akan pengetatan moneter yang lebih agresif melebihi proyeksi Fed Fund Rate (FFR) 4,4 persen di 2022 dan 4,7 persen di 2023.
Baca Juga
“Rupiah juga melemah karena investor asing cenderung keluar dari pasar domestik dan lebih memilih dolar,” kata Raka.
Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan pelemahan rupiah yang berlanjut akan membuat investor keluar dari pasar domestik karena tingkat keuntungan investasi akan tergerus seiring pelemahan mata uang Garuda.
Dia menyebutkan investor akan cenderung memperhitungkan kembali apakah investasi di Indonesia masih cukup layak dilanjutkan.
Dampak negatif dari pelemahan rupiah adalah bertambahnya tekanan terhadap emiten yang memiliki utang dalam mata uang asing karena beban utang akan meningkat. Begitu pula pada emiten dengan kebutuhan bahan baku impor yang besar dalam menopang kegiatannya.
“Tekanan pada kinerja para emiten ini akan menjadi alasan para investor menjual sebagian portofolio, sehingga akan membuat IHSG ikut terbebani,” kata Pandhu.