Bisnis.com, JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan nilai return yang outperform sepanjang 2022, melampaui sejumlah negara seperti AS, China, Hong Kong hingga Singapura.
Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer Mandiri menjelaskan, investor perlu mencermati ketahanan atau resilient IHSG yang sejauh ini outperform.
“Indonesia sangat resilient, indeks return kita termasuk tinggi dibandingkan negara-negara lain termasuk ASEAN,” ujarnya dalam acara Media Gathering & Presentasi Macroeconomic Outlook Bank Mandiri, Selasa (4/10/2022).
Berdasarkan data Mandiri Sekuritas, secara year-to-date IHSG telah mencatatkan equity index return sebesar 6,5 persen. Kendati cenderung turun dari tahun lalu yang sebesar 10,1 persen, raihan ini menjadi yang tertinggi dibandingkan US S&P 500 yang mencetak kerugian 22,8 persen, serta indeks Hang Seng sebesar 21,6 persen.
Dari sisi pertumbuhan earning per share (EPS) sepanjang 2022, IHSG berada di posisi kedua setelah indeks UK FTSE dengan kenaikan mencapai 47 persen.
Sementara itu dari pertumbuhan price earning ratio (PER), IHSG berada pada posisi tiga besar setelah indeks India Sensex dan US S&P 500, yaitu sebanyak 15,6 kali.
Baca Juga
Secara sektoral, IDX Energy masih menduduki peringkat pertama yang menguat secara ytd, yaitu sebesar 70 persen, disusul IDX Industry 24 persen, IDX Transportation 10 persen, dan IDX konsumer nonsiklikal sebesar 5 persen.
Lebih lanjut, Adrian mengungkapkan sejumlah sentimen investasi pasar modal ke depan, antaralain kenaikan consumer price index (CPI) dalam negeri dan kenaikan suku bunga yang berisiko terhadap daya beli masyarakat menengah ke bawah, serta risiko normalisasi harga komoditas setelah kuartal IV/2022 di tengah pasokan bahan bakar fosil.
Selain itu, posisi inflasi Indonesia yang dinilai baik karena leverage yang rendah, struktur neraca perdagangan yang lebih baik, kebijakan fiskal yang hati-hati terutama setelah kenaikan harga BBM.
Adrian menambahkan, katalis utama di pasar modal yaitu pemulihan pasar tenaga kerja seiring adanya akselerasi siklus kredit dan capital expenditure (capex) pada semester II/2022, penghiliran industri mineral, dan rantai pasokan EV.
“Risiko utama investasi mencakup gangguan daya beli, lonjakan harga minyak mentah, pelemahan rupiah dan pengetatan likuiditas domestik di tengah defisit fiskal yang muncul,” tutupnya.