Bisnis.com, PEKANBARU - Perusahaan pelayaran yang berpusat di Pekanbaru, PT Habco Trans Maritima Tbk. (HATM) sudah bersiap untuk mengembangkan sayap bisnis ke tingkat internasional, menyusul aksi korporasinya dengan menawarkan saham perdana atau IPO di Bursa Efek Indonesia.
Habco akan menjadi perusahaan tercatat ke-29 di BEI pada 2022. Dengan kode HATM, saham Habco mulai diperdagangkan di BEI pada Selasa (26/7/2022).
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana rencana dan strategi bisnis perseroan, Bisnis beberapa waktu lalu berkesempatan melakukan wawancara secara virtual dengan Direktur Utama Habco Trans Maritima Andrew Kam. Berikut petikannya.
Bagaimana awalnya perusahaan berdiri hingga akhirnya IPO tahun ini?
Kami berdiri sejak akhir 2019 lalu dan memang saat itu kami belum beroperasi karena masih di tahapan persiapan perizinan, dimana rencananya awal 2020 kami mulai pengadaan kapal untuk operasional. Namun, karena pandemi Covid-19 akhirnya tertunda sampai akhir Desember 2020 barulah kami bisa menuntaskan persiapan dan mendapatkan kapal Habco Polaris, yang kami beli dari BUMN Qatar.
Mulai 2021 kami dapat beroperasi penuh dan seperti diketahui pencapain kinerja kami tahun lalu lumayan memuaskan. Kami mencatat pendapatan Rp252 miliar dan laba kami dapatkan Rp90 miliar.
Baca Juga
Dari pencapaian dan kinerja positif itulah kami sudah memutuskan melaksanakan IPO tahun ini.
Rencananya dari dana IPO tersebut kami akan menggunakannya untuk membeli kapal baru, dan setiap tahunnya kami berencana menambah armada baru agar bisnis pelayaran yang kami garap dapat diperluas, serta tentu saja sambil tetap mendukung program pemerintah khususnya menjaga ketahanan energi nasional melalui usaha kami yaitu pelayaran.
Kontribusi terbesar bisnis HATM berasal dari mana?
Untuk sementara bisnis pelayaran kami kontribusinya mayoritas masih dari komoditas tambang, karena memang saat ini tinggi sekali permintaan dari PLN untuk menyuplai batu bara ke PLTU mereka, hal ini juga disebabkan masing-masing pembangkit membutuhkan kapal dengan spesifikasi khusus.
Misalnya MV Habco Pionir kini sangat diperlukan untuk menyuplai batubara di PLTU Pacitan, karena memang kapal kami sudah sesuai spesifikasinya untuk masuk, bersandar hingga bongkar muatan dengan aman. Kemudian MV Habco Polaris saat ini paling banyak menyuplai batubara ke PLTU Cilacap yang memang spesifikasi kapal itu sesuai dengan kondisi lapangan.
Dengan kondisi itu, saat ini 90 persen bisnis HATM didominasi pengiriman batu bara ke pembangkit PLN, dan sisanya adalah barang lainnya seperti besi dan klinker.
Bagaimana strategi perusahaan dalam mencapai target pendapatan 2022?
Memang sudah ada beberapa strategi kami untuk meraih pendapatan, dimana kami targetkan dari freight carter mencapai Rp137,5 miliar dan dari time charter itu sekitar Rp100 miliar dalam setahun.
Mengapa freight carter ini lebih besar karena di sistem itu semua biaya operasional yang kami keluarkan itu masuk ke pendapatan perusahaan. Sedangkan di time charter itu kami hanya menyewakan kapal saja kepada pelanggan, dan semua biaya operasional serta bahan bakar kapal ditanggung penyewa. Kedua sistem ini memang ada perbedaannya tapi secara keuntungannya atau net profit bagi kami itu sama.
Apakah akan menyasar bisnis ke tingkat internasional?
Untuk internasional kami bukan ke bisnis ekspor impor, tapi kami mungkin akan mengejar potensi pasar internasional misalnya pelayaran dari Malaysia ke Filipina. Di rute ini ada potensi berbagai proyek pengiriman komoditas dan barang. Misalnya proyek kargo pipa-pipa, gypsum, gula, gandum besi, pipa besi, dan tentu batubara juga.
Apakah ada dampak kebijakan tol laut terhadap bisnis HATM?
Segmen bisnis tol laut ini sebenarnya berbeda dengan kami karena kami lebih fokus pada angkutan pelayaran komoditas, sedangkan tol laut itu kapal kebutuhan umum yang dilayani oleh kapal Pelni, Roro, ASDP, dan sebagainya yang banyak membawa truk, atau bahan makanan.
Namun memang sejak adanya program tol laut dari pemerintah, kami merasakan langsung akses ke Indonesia Bagian Timur lebih terbuka seperti saat ini ada banyak smelter yang baru di timur seperti Morowali, Pulau Obi, Teluk Weda Maluku dan lainnya.
Dengan terbukanya Indonesia timur ini, muncul kebutuhan angkutan komoditas seperti nikel, batubara dan sebagainya, dan untuk kegiatan ekspor komoditas seperti pemurnian nikel yang hasilnya setengah jadi itu memerlukan angkutan komoditas.
Jadi memang secara tidak langsung program tol laut membuka potensi pasar baru ke daerah-daerah yang selama ini sulit diakses.