Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banjir Berkah untuk Emiten Bahan Bangunan, ARNA dan MLIA Kecipratan

Kenaikan harga komoditas hingga pemulihan ekonomi membawa berkah bagi emiten bahan bangunan, yakni PT Arwana Citramulia Tbk. dan PT Mulia Industrindo Tbk.
Ilustrasi keramik rumah yang dipajang di toko bahan bangunan/ Bisnis.com
Ilustrasi keramik rumah yang dipajang di toko bahan bangunan/ Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Emiten produsen keramik PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) baru saja mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,35 triliun pada semester I/2022. Raihan ini meningkat 8,92 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,24 triliun.

Peningkatan pendapatan ini juga turut mengerek laba kotor perseroan yang meningkat menjadi Rp552,9 miliar, dan laba operasional meningkat menjadi Rp394,4 miliar di semester I/2022. Naiknya laba kotor dan laba operasional ini turut meningkatkan laba bersih perseroan menjadi Rp305,8 miliar, atau naik 38,42 persen secara tahunan, dari Rp220,9 miliar.

Sebagai informasi, ARNA menargetkan pertumbuhan pendapatan 8,2 persen atau Rp2,76 triliun pada 2022 ini. Pertumbuhan pendapatan ini bersumber dari total penjualan yang diiringi perbaikan harga jual rata-rata yang naik 2 persen menjadi Rp38.400 per meter persegi.

Chief Financial Officer ARNA Rudy Sujanto belum lama ini mengatakan, ARNA menargetkan volume penjualan tumbuh 6,3 persen menjadi 71,9 juta meter persegi di 2022.

Pertumbuhan penjualan ini akan ditopang oleh total produksi yang tumbuh 2 persen. Selain itu, ARNA juga masih memiliki stok produk yang dapat menopang penjualan di 2022.

"Pada akhir tahun kita masih memiliki inventory atau stok produk jadi kurang lebih 3 juta yang bisa kami cadangkan untuk membantu menopang penjualan tahun 2022," kata Rudy.

Sementara itu, emiten di sektor produk bangunan lainnya, PT Mulia Industrindo Tbk. (MLIA) menargetkan pertumbuhan penjualan Rp5 triliun dan laba setelah pajak sebesar Rp700-Rp710 miliar tahun ini.

Manajemen Mulia Industrindo mengatakan, kinerja perseroan di kuartal I/2022 meningkat 100 persen akibat membaiknya industri kaca dan botol.

"Apabila melihat laporan kuartal II/2022 yang akan diterbitkan, pencapaian perseroan akan tetap baik, yakni dengan perkiraan pencapaian Rp2,4-Rp2,5 triliun untuk kuartal II/2022 dan perkiraan laba bersih Rp700-Rp710 miliar setelah pajak," kata manajemen.

Manajemen MLIA menuturkan, pihaknya menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp300 miliar tahun ini. Capex tersebut akan digunakan untuk memelihara mesin produksi dan infrastruktur, overhaul mesin-mesin botol untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya.

Adapun hingga kuartal I/2022, MLIA mencatatkan penjualan bersih sebesar 23,46 persen menjadi Rp1,33 triliun, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,07 triliun.

Sementara itu, laba bersih perseroan juga meningkat 104,38 persen dari Rp124,71 miliar di kuartal I/2021, menjadi Rp254,9 miliar di akhir kuartal I/2022.

Momentum Pertumbuhan

Research Analyst MNC Sekuritas Raka Junico mengatakan, raihan pendapatan Arwana ini sejalan dengan konsensus dan perkiraan MNC Sekuritas. Raka menjelaskan, pendapatan yang lebih tinggi tersebut ditopang oleh produk porselen yang menargetkan segmen menengah ke atas.

Raka melanjutkan, terdapat beberapa katalis positif yang akan mendorong kinerja ARNA pada paruh kedua 2022. Menurutnya, kelangkaan pengapalan pada 2021 dan 2022 merupakan 'blessing in disguise' bagi ARNA.

Pasalnya, kondisi ini membawa dampak ke naiknya biaya logistik, khususnya dari China dan India yang keramiknya diimpor di Indonesia.

"China juga menerapkan kebijakan untuk membatasi penggunaan batu bara ke gas untuk industri, ketika harga gas China berkisar US$7-US$8/MMBtu, dibandingkan dengan harga gas Indonesia yang sebesar US$6/MMBtu. Pemerintah Indonesia juga memastikan harga gas industri akan tetap dijaga hingga 2024 yang akan menguntungkan ARNA," kata Raka dalam risetnya, dikutip Senin (25/7/2022).

Selain harga gas, pemerintah juga menyediakan dukungan melalui safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk tiga tahun ke depan, dengan rentang 13-17 persen untuk produk impor melalui PMK No. 156/PMK.101/21. Dengan regulasi tersebut, sirkulasi produk impor dapat ditekan.

ARNA juga diperkirakan akan diuntungkan dari rencana ekspansi pengelola gerai bahan bangunan Mitra10, PT Catur Sentosa Adiprana Tbk. (CSAP) ke Pulau Sumatera dan luar Jawa di 2022. Sebagaimana diketahui, penjualan ARNA ke CSAP mencapai sekitar 70 persen dari penjualan konsolidasi perseroan.

Menurut Raka, target ekspansi ARNA selanjutnya adalah menyasar segmen menengah ke atas. Raka mencatat, hingga saat ini ARNA telah mengembangkan keramik berukuran 60x60, yang merupakan segmen untuk bangunan high-rise dan rumah tapak.

"Sejalan dengan booming harga komoditas, developer dengan agresif membangun unit-unit properti baru, sehingga ARNA akan memanfaatkan momentum ini," tuturnya.

Adapun, Raka merekomendasikan investor untuk buy saham ARNA, dengan target harga atau target price (TP) pada Rp1.450 per saham.

Risiko investasi pada saham ARNA adalah volume penjualan yang lebih rendah, khususnya di segmen menengah ke atas, masifnya penjualan produk impor, dan konsekuensi dari pelemahan rupiah.

Sementara itu, Analyst Henan Putihrai Sekuritas Robertus Hardy dan Ezaridho Ibnutama dalam riset terbarunya menyampaikan, setelah melakukan divestasi pada salah satu anak usahanya, PT Muliakeramik Indahraya ke perusahaan induk PT Eka Gunatama Mandiri. MLIA dioperasikan oleh PT Muliaglass.

Saat ini, produk float glass MLIA memiliki 40 persen pangsa kapasitas produksi dalam negeri, dibandingkan dengan PT Asahimas Flat Glass Tbk. (AMFG) yang memiliki pangsa pasar 60 persen.

Henan Putihrai menyebut beberapa merek FMCG seperti Heinz ABC, Bintang, Aqua, Orang Tua, dan Indofood menggunakan botol kaca yang diproduksi MLA. MLIA memiliki 50 persen pangsa produksi produk botol dalam negeri.

Sementara di sektor bangunan, The Pakubuwono Residence dan Tanatap Coffee di Jakarta merupakan pengguna produk glass block MLIA.

Secara global, MLIA memiliki pangsa kapasitas produksi terbesar dengan 31 persen, diikuti oleh perusahaan Jinghua dari China, Seves dari Ceko, dan Bangkok Crystal, masing-masing dengan pangsa 21 persen, 18 persen, dan 14 persen.

Sementara di sektor otomotif, PT Astra Daihatsu Motor berkontribusi 64 persen ke total penjualan safety glass MLIA, diikuti oleh Suzuki 13 persen, dan Toyota 6 persen

Di samping akan meng-upgrade dan merombak beberapa lini produksi yang ada dan untuk mengakomodasi produksi kaca tempered untuk peralatan rumah tangga, Muliaglass juga berencana meningkatkan kapasitas produksi kaca dan botol safety pada 2023 dan glass block pada 2024.

Henan Putihrai menuturkan MLIA masih mengandalkan bahan baku impor, terutama abu soda yang berasal dari AS dan Turki. Hal ini membuat biaya dari mata uang dolar mencapai 44 persen dari total COGS di kuartal II/2022.

"Namun, dengan kontribusi penjualan ekspor yang mencapai 28 persen hingga 30 persen, dan margin laba kotor 36 persen, MLIA memiliki hedging alami untuk menghadapi volatilitas mata uang, yang berhasil menekan eksposur biaya dalam mata uang dolar hingga hanya 28 persen," kata Robertus dan Ezaridho.

Henan Putihrai Sekuritas juga melihat, MLIA akan diuntungkan dengan implementasi harga gas industri yang hanya sebesar US$6/MMBtu, dari sebelumnya US$8/MMBtu di 2018-2019. Henan Putihrai Sekuritas merekomendasikan buy untuk saham MLIA, dengan target harga Rp700 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper