Bisnis.com, JAKARTA – Perubahan kebijakan perpajakan baru terkait pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi reksa dana pada 2021 lalu membuat investor lebih memilih untuk masuk ke instrumen obligasi ketimbang reksa dana terproteksi atau pendapatan tetap.
Pemerintah menurunkan PPh bunga obligasi bagi investor domestik melalui PP No 91/ Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Beleid ini telah berlaku sejak tanggal 30 Agustus 2021.
Meski demikian, PP No 91/2021 tidak menyebutkan ketentuan khusus terkait tarif PPh bunga obligasi yang diterima oleh wajib pajak reksa dana seperti pada ketentuan sebelumnya.
Pada peraturan sebelumnya, yakni PP No 55/2019 yang merupakan perubahan kedua PP No 16/2009, wajib pajak reksa dana dikenai PPh final bunga obligasi dengan tarif sebesar 5 persen pada 2014 hingga 2020 dan sebesar 10 persen pada tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.
Kala itu, tarif PPh final atas bunga obligasi yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri masih sebesar 15 persen. Kini tarif wajib pajak dalam negeri non-reksa dana dan wajib pajak reksa dana sama-sama sebesar 10 persen.
Terkait hal tersebut, Direktur Utama Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menjelaskan, kebijakan ini mengubah pajak atas bunga obligasi atau underlying asset yang ada di portofolio reksa dana pendapatan tetap dan terproteksi.
Baca Juga
Ia mengatakan, kebijakan ini utamanya akan mempengaruhi reksa dana pendapatan tetap dan terproteksi. Sejauh ini pihaknya melihat, khususnya di tahun 2021 lalu, kebijakan tersebut lebih berdampak ke reksa dana terproteksi.
Hal ini dapat terlihat dari penurunan dana kelolaan reksa dana terproteksi sepanjang tahun 2021. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Januari 2021, jumlah dana kelolaan reksa dana terproteksi mencapai Rp144,2 triliun. Jumlah ini kemudian menurun hingga ke posisi Rp100,94 triliun pada akhir Februari 2022.
Guntur memaparkan, pada kondisi seperti sekarang, investor akan cenderung lebih memilih untuk membeli obligasi secara langsung dibandingkan dengan membelinya melalui reksa dana terproteksi. Ia mengatakan, pemberlakuan kebijakan baru ini membuat pembelian obligasi secara langsung lebih menguntungkan.
“Investor sepertinya lebih memilih berinvestasi langsung ke obligas dibandingkan reksa dana terproteksi yang strategi investasinya hanya hold to maturity karena pajaknya sama dengan berinvestasi di obligasi secara langsung (direct holding). Pola ini khususnya terlihat pada investor institusi karena mereka memiliki scale untuk berinvestasi,” jelas Guntur saat dihubungi pekan ini.
Sementara itu, Guntur mengatakan dampak kebijakan ini tidak begitu terlihat pada reksa dana pendapatan tetap. Keahlian manajer investasi dalam pengelolaan reksadana secara aktif dan penerapan strategi di obligasi tetap menjadi daya tarik investor dalam penempatan investasi ke instrumen ini.
“Minat investor masih terlihat untuk berinvestasi di reksa dana pendapatan tetap karena faktor kebutuhan,” lanjutnya.
Sementara itu, Chief Investment Officer Star AM Susanto Chandra mengatakan peningkatan pajak tersebut akan sedikit menurunkan imbal hasil reksa dana pendapatan tetap. Apabila strategi manajer investasi cenderung buy and hold, investor akan lebih diuntungkan membeli obligasi langsung daripada berinvestasi pada reksa dana.
Ia mengatakan, kebijakan tersebut membuat pihaknya perlu menyesuaikan strategi investasi dengan kebijakan yang ada.
“Strategi kami umumnya lebih dinamis untuk mencari imbal hasil tambahan dari sisi aset alokasi dan seleksi obligasi yang lebih cermat,” katanya.