Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jangan Mau Rugi Investasi Saham, Perhatikan 3 Hal Ini!

Tren main saham mulai marak pertengahan akhir tahun lalu, seiring kondisi pasar yang memburuk akibat pandemi, sehingga dimanfaatkan oleh investor untuk beburu cuan lewat momentum pemulihan pasar.
Pengunjung beraktivitas di dekat tulisan Yuk Nabung Saham, di Jakarta, Kamis (3/1/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan
Pengunjung beraktivitas di dekat tulisan Yuk Nabung Saham, di Jakarta, Kamis (3/1/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA — Kasus-kasus investor terjebak di saham “nyangkut”, mengalami portofolio yang minus, hingga terlilit utang akibat main saham belakangan banyak bermunculan. Lantas, bagaimana menghindari hal-hal tersebut?

Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan bahwa fenomena maraknya investor dadakan yang mengalami kerugian ini sebagai salah satu efek samping pertumbuhan investor ritel yang pesat setahun belakangan.

Tercatat, sepanjang 2020 jumlah investor pasar modal mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID) atau naik 56 persen dari posisi akhir 2019 lalu. Dari jumlah tersebut, investor saham juga naik sebesar 53 persen menjadi sejumlah 1,68 juta SID.

Budi menilai tren main saham mulai marak pertengahan akhir tahun lalu, seiring kondisi pasar yang memburuk akibat pandemi, sehingga dimanfaatkan oleh investor untuk beburu cuan lewat momentum pemulihan pasar.

“Jadi mereka [investor] belum merasakan kerugian bahwa sepertinya beli apapun juga untung, mereka belum pernah merasakan kondisi 2008,1998, atau krisis lain. Jadi disangkanya gampang main saham, lalu pada ikut-ikutan,” tuturnya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Investor-investor yang masuk di tahun lalu tersebut kemudian ramai memamerkan keuntungan yang didapatnya, sehingga menarik lebih banyak masyarakat untuk masuk ke pasar saham. Ini juga termasuk yang dilakukan beberapa pesohor sehingga menimbulkan efek domino.

Kemudian efek domino tersebut yang menjadi ancaman karena Budi menilai saat ini mayoritas valuasi saham-saham sudah terlampau mahal, apalagi indeks harga saham gabungan (IHSG) mulai pulih ke level prapandemi dan investor baru tak menyadari itu.

Menurut Budi, banyak masyarakat awam yang tak benar-benar memahami skema trading saham. Mereka tergiur dengan beragam cerita “cuan” dari saham, kemudian masuk di waktu yang tak tepat, sehingga akhirnya terjebak di harga mahal lalu menderita kerugian.

Lebih parah lagi, banyak di antaranya yang menggunakan dana dari beragam sumber yang sulit dipertanggungjawabkan, seperti pinjaman online (pinjol), dana darurat, bahkan dana simpanan kolektif  seperti uang arisan dan sebagainya.

Budi memberikan sejumlah tips bagi para investor pemula atau masyarakat yang tertarik untuk terjun di dunia saham.

Pertama, terapkan prinsip “know what you buy, buy what you know” atau “mengetahui apa yang kamu beli dan beli apa yang kamu ketahui”.

Sebelum masuk ke pasar saham, investor harus benar-benar memahami terlebih dahulu apa itu saham, bagaimana mekanisme perdagangan saham, bagaimana iklim pasar saat ini, dan sebagainya.

Perlu diingat bahwa saham adalah salah satu instrumen investasi paling berisiko karena penuh dengan unsur spekulasi. Maka dari itu, sebelum memenukar uang menjadi saham, investor harus benar-benar memahami risiko dan potensi kerugian dari saham.

Kemudian, dalam memilih atau membeli saham, belilah saham yang benar-benar diketahui, baik dari sisi kinerjanya, valuasinya saat ini, serta proyeksinya baik secara teknikal maupun fundamental.

“Jangan membeli hanya karena si anu bilang ini, harus benar-benar cari tahu. Jangan lupa para pemberi rekomendasi ini punya kepentingan, karena yang terjadi para pompom ini beli lebih dahulu lalu provokasi orang beli, supaya dia bisa keluar di harga bagus,” tukas Budi.

Kedua, selalu gunakan uang dingin. Artinya, gunakanlah dana yang tak diperlukan setidaknya dalam beberapa waktu ke depan karena saham berupakan instrumen investasi dengan orientasi jangka panjang.

Dia merekomendasikan minimum jangka waktu “uang dingin” yang dapat digunakan untuk masuk ke saham minimal tidak digunakan dalam 3 tahun ke depan, bahkan idealnya sekitar 5 tahun.

“Kalau punya uang cuma nganggur 1-2 tahun masukkan ke investasi yang lain saja, karena kan kita nggak tahu tahun depan itu ada apa, sentimennya akan seperti apa. Seperti dari 2019 ke 2020 kita nggak tahu ternyata 2020 pandemi dan anjlok semua kan,” imbuhnya.

Ketiga, jangan pernah berutang untuk beli saham. Pasalnya, dinamika di pasar saham sangat tinggi dan potensi keuntungan yang dapat diperoleh tidak pasti, sedangkan utang berserta bunganya adalah hal yang pasti dan harus dilunasi oleh sang peminjam.

“Saham itu bisa rutin tiap bulan ngasih untung 5 persen saja udah jagoan itu, sementara ini pinjaman online bisa berapa, 2—3 persen sehari bunganya, apa nutup? Belum kalau dia minus,” katanya.

Terakhir, Budi berpesan agar para investor jangan mau mendengarkan para juru pompom saham. Alih-alih, investor harus lebih rajin mencari tahu dan menambah ilmu, baik seputar investasi dan trading saham maupun mengenai saham incarannya melalui kanal-kanal yang terpercaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper