Bisnis.com, JAKARTA – Investor disarankan mengambil posisi jual terhadap harga minyak WTI pada perdagangan Senin (10/8/2020).
PT Valbury Asia Futures dalam laporannya menyebutkan harga minyak turun hampir 2 persen pada akhir pekan karena kekhawatiran pemulihan ekonomi global dapat goyah akibat lonjakan kasus virus corona yang dapat mempengaruhi perkiraan permintaan bahan bakar.
"Level resistan di US$42,15, sedangkan support di US$41.00," paparnya dalam publikasi riset, Minggu (9/8/2020).
Valbury pun memberikan rekomendasi sell terhadap minyak WTI di harga US$41,60, dan stop loss di US$42. Target harga ialah US$41 hingga US$40,6.
Berdasarkan data Bloomberg, pada akhir perdagangan pekan lalu, Jumat (7/8/2020), harga minyak jenis WTI untuk kontrak September 2020 di bursa Nymex melemah 1,74 persen ke level US$41,22 per barel, menjadi penurunan terbesar dalam satu pekan terakhir.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Oktober 2020 di bursa ICE melemah 1,55 persen ke level US$44,4 per barel.
Baca Juga
Sepanjang tahun berjalan 2020, harga minyak telah melemah 32,49 persen. Untuk diketahui, pada pertengahan April, harga minyak berjangka sempat diperdagangkan di area negatif, yaitu di level -US$34 per barel.
Managing Member Tyche Capital Advisors LLC Tariq Zahir mengatakan bahwa saat ini sentimen pasar telah menghalangi harga minyak mentah ke arah menuju bullish.
“Pasar ekuitas yang lebih lemah akibat ketegangan AS dan China, ditambang permintaan terhadap dolar AS yang meningkat telah melemahkan harga minyak,” ujar Zahir seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (9/8/2020).
Pandemi Covid-19 yang telah melemahkan permintaan minyak dunia, juga mulai memberikan dampak terhadap pelemahan minat kontraktor minyak untuk melakukan eksplorasi cadangan baru.
Di Amerika Serikat, aktivitas pengeboran untuk eksplorasi telah jatuh ke level terendah dalam 15 tahun terakhir karena miliaran barel minyak dari penemuan sebelumnya menjadi tidak berharga seiring dengan harga yang rendah dan melemahnya serapan persediaan.
Berdasarkan data Baker Hughes Co, jumlah rig minyak aktif di AS turun drastis menjadi hanya sebesar 176, terendah sejak 2005. Hal itu sejalan dengan banyak perusahaan energi AS telah memberhentikan operasional rignya hampir dalam lima bulan terakhir.
Sejumlah kontraktor minyak telah memoratorium rencana proyek eksplorasi cadangan minyak baru itu karena tersengat oleh penurunan permintaan dan harga yang dipicu pandemi Covid-19.
Bahkan, Exxon Mobil Corp. dan Chevron Corp. telah memperingatkan bahwa kedua perusahaan itu mungkin akan menghapus miliaran barel cadangan dari pembukuannya karena harga yang lemah telah membuat minyak tidak lagi menguntungkan untuk dipompa saat ini.
Adapun, sebagian besar penurunan rig mingguan terjadi di Permian Basin, ladang minyak terbesar di Amerika Utara. Aktivitas pengeboran juga turun di Eagle Ford Shale, Texas Selatan dan mengalami stagnasi di wilayah Bakken dan Denver-Julesburg di North Dakota dan Colorado.
Lalu, alih-alih mencari cadangan minyak mentah baru yang belum dimanfaatkan, banyak kontraktor minyak itu justru menyalurkan likuiditasnya ke dalam dividen dan inisiatif ramah pemegang saham lainnya.
Mencari pertumbuhan kinerja dan ekspansi tampaknya sudah bukan fokus utama perusahaan energi AS saat ini, melainkan berusaha kembali menenangkan hati investor yang mulai muak dengan return yang buruk selama bertahun-tahun.
Aramco, salah satunya, perusahaan energi terbesar dunia asal Arab Saudi itu pun tetap membagikan dividen tunai yang diperkirakan hingga US$75 miliar secara tahunan.
Pada kuartal II/2020, perusahaan ini mengatakan akan membagikan dividen sebesar US$18,75 miliar, sebagian besar kepada Pemerintah Arab Saudi yang merupakan pemegang saham utama.
Padahal, laba bersih Aramco turun menjadi 24,6 miliar riyal atau sekitar US$6,6 miliar pada periode tersebut, jauh di bawah realisasi kuartal II/2019, yang mencapai 92,6 miliar riyal.