Bisnis.com, JAKARTA — Meski kondisi pasar mulai membaik, diversifikasi aset dinilai masih menjadi poin penting untuk menjaga ketahanan investasi di tengah bayang-bayang volatilitas yang masih mengintai.
Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya mengatakan jika dibandingkan stabilitas dan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini dengan kondisi pada saat krisis sebelumnya, bisa dibilang kondisi saat ini jauh lebih baik.
“Sebagai contoh inflasi saat ini yang stabil dan terjaga rendah di kisaran 3 persen, sedangkan pada 2008 tercatat 12 persen dan pada 1998 menyentuh 82 persen,” ujarnya dalam sesi webinar Market Update “Adapting to New Normal: Guide to Investing” yang diadakan via live streaming, Selasa (16/6/2020).
Selain itu, cadangan devisa saat ini jauh lebih besar sehingga dapat dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah serta menahan laju pelemahan rupiah. Cadangan devisa Indonesia hingga akhir Mei berada pada level US$130,5 miliar.
Jumlah tersebut setara dengan pembiayaan 8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik ini, lanjut Ivan, dapat membuat para investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara emerging market yang menjadi tujuan investasi.
Baca Juga
Pasar obligasi Indonesia saat ini menawarkan tingkat real yield yang cukup atraktif jika dibandingkan dengan negara emerging market lainnya yakni di sekitar 5,16 persen. Di sisi lain, pasar saham akan mendapatkan angin segar sejak mulai dibukanya kembali ekonomi di berbagai negara setelah karantina wilayah.
“Hal tersebut menandakan akan dimulainya pemulihan ekonomi dan bisa dijadikan momentum untuk berinvestasi jangka panjang,” jelas Ivan.
Meskipun demikian, dia memperkirakan volatilitas masih akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan jika pandemi Covid-19 masih belum usai. Maka menurutnya, yang terpenting dilakukan investor di masa apapun terutama yang baik dilakukan dengan kondisi saat ini adalah diversifikasi aset.
“Jadi porsi alokasi aset portofolionya harus disesuaikan, sementara mengurangi di saham dan mengalihkan ke obligasi. Sisanya ke pasar uang untuk sokongan kas,” tutur dia.
Untuk investor dengan profil risiko balanced, Ivan menyarankan 25 persen reksa dana saham, 40 persen reksa dana pendapatan tetap atau obligasi, 35 persen reksa dana pasar uang.
Sementara untuk investor dengan profil risiko agresif idealnya memiliki portofolio yang terdiri dari 60 persen reksa dana saham, 25 persen reksa dana pendapatan tetap atau obligasi dan 15 persen reksa dana pasar uang.
“Untuk reksa dana pilih produk-porduk yang terpercaya. Jangan lupa agar tetap aman investasi dari rumah saja melalui digital yaitu bisa dari internet atau mobile banking,” tutupnya.