Bisnis.com, JAKARTA – Stamina mata uang pasar negara berkembang dipandang akan mengendur seiring dengan berjalannya waktu, kendati reopening ekonomi global meredakan kekhawatiran investor dan dolar AS melemah.
Menurut ahli strategi di Barclays Plc., mata uang dan obligasi pemerintah yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang atau emerging market (EM) terlihat terlalu mahal mengingat tantangan-tantangan yang mereka hadapi dalam mengatasi pandemi Covid-19.
“Lintasan jangka menengah untuk mata uang EM masih lebih rendah dan kurva mereka cenderung menjadi lebih curam,” tulis Barclays, mengacu pada ekspektasi spread yang lebih luas antara imbal hasil obligasi pemerintah jangka pendek dan jangka panjang.
“Keberlanjutan fiskal jangka panjang akan tetap menjadi tantangan bagi beberapa negara, bahkan di bawah asumsi pasca-Covid-19 yang optimistis,” jelasnya dalam riset pada 7 Juni, seperti dikutip dari Bloomberg.
Indeks MSCI Emerging Markets Currency mencatat kenaikan mingguan terkuat sejak 2016 pekan lalu, dengan membaiknya sejumlah data ekonomi. Selain itu, langkah-langkah stimulus pemerintah dan bank sentral membantu membangkitkan kembali kepercayaan investor.
Sebaliknya, Bloomberg Dollar Spot Index menuju penurunan harian kedelapan berturut-turut pada awal perdagangan di Asia hari ini, Senin (8/6/2020).
Baca Juga
Dollar Spot memperpanjang penurunannya setelah rilis laporan pekerjaan AS bulan Mei yang lebih kuat dari perkiraan semakin mengurangi permintaan untuk aset-aset safe haven.
Ahli strategi Barclays mengatakan bahwa reli aset berisiko telah menyebabkan obligasi pemerintah 10-tahun di Chili, Korea, India dan Afrika Selatan tampak relatif 'kaya' terhadap perkiraan model mereka.
"Meski spread masih luas untuk menurunkan tingkat bebas risiko, obligasi lokal EM tidak murah mengingat fundamental lokal dan global," kata mereka.
“Neraca emerging market yang melemah akan memburuk, dengan defisit utama terbesar dalam 30 tahun terakhir,” tulis tim tersebut.