Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga minyak mentah dalam sebulan terakhir tidak cukup mampu mengantar banderol ke posisi awal 2020. Kebangkitan harga yang bersejarah seakan terasa hambar.
Dilansir dari Bloomberg, Sabtu (30/5/2020), harga minyak telah naik 80 persen pada Mei 2020, bangkit setelah tenggelam ke posisi minus. Harga terkerek sejalan dengan pemangkasan produksi besar-besaran oleh para produsen minyak..
Namun, pemangkasan produksi tidak serta merta membuat harga minyak mendidih. Para pengamat menilai permintaan minyak turun saat pandemi virus corona (Covid-19) melanda dunia. Pemangkasan produksi seperti sia-sia.
Untuk saat ini, prospek konsumsi minyak masih suram. Sejumlah negara memang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial atau lockdown. Namun, permintaan tidak jua pulih.
Penjualan bahan bakar yang mengering di Eropa, terutama Spanyol dan Italia membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali mengalir deras.
Di Asia, China dan sejumlah negara yang masih berjibaku melawan virus memang bisa menjadi harapan. Namun, ada juga risiko terpendam, yaitu saat harga kembali naik, produsen malah membuka keran minyak lebih lebar.
Baca Juga
"Pada akhirnya, apa yang mendorong semuanya [termasuk harga minyak] adalah permintaan bahan bakar," ujar Tom O'Connor, di perusahaan konsultan global ICF. Dia menyebut, penurunan permintaan menjadi keniscayaan dalam beberapa waktu ke depan.
Terlepas dari itu, hubungan Amerika Serikat dan China yang memburuk juga menghambat rekor kenaikan harga minyak bulan ini. Akibatnya, pasar saham terseok-seok. Investor juga khawatir melihat data pengeluaran konsumen AS merosot.
Minyak mentah berjangka di AS berfluktuasi pada perdagangan Jumat (29/5/2020). Minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 0,8 persen menjadi US$33,44 per barel. Sementara itu, minyak Brent turun 1,1 persen menjadi US$34,89 per barel.