Bisnis.com, JAKARTA - Stablecoins mendadak jadi pusat perhatian pakar ekonomi moneter dan pelaku pasar setelah Presiden Amerika Donald Trump mengesahkan sebuah UU berjudul Guiding and Establishing National Innovation for Stablecoins Act.
Oleh Donald Trump, UU itu disingkat jadi Genius Act, karena UU itu jenius seperti dirinya. Gaya Trump yang narcist tentu sudah kita kenal, tetapi apakah menerapkan stablecoins sebagai mata uang resmi negara adalah sebuah langkah jenius?
Stablecoin adalah varian dari cryptocurrency tetapi berbeda dengan uang crypto lainnya yang sama sekali tidak ada underlying valuenya, stablecoin beragun (backed by) suatu conventional financial asset. Misalnya stablecoin berbasis basket obligasi-obligasi pemerintah, atau stablecoin berbasis emas, atau uniknya stablecoin berbasis US$ seperti Tether (USDT).
Dari namanya, kita bisa menduga bahwa stablecoins adalah jenis uang crypto yang stabil nilainya karena ada basis aset yang diwakilinya. Stabilitas nilai tukar uang crypto memang jadi masalah besar. Bitcoin, misalnya, sering turun lebih 40% dalam 1 hari.
Namun, ada ciri cryptocurrency yang tetap saja ada pada stablecoins yaitu uang ini tidak dikeluarkan oleh bank sentral negara mana pun, melainkan dibangun dan dikeluarkan oleh perusahaan swasta tertentu memanfaatkan teknologi informasi blockchain. Keberatan pemerintah seluruh dunia terhadap cryptocurrency sangat masuk akal.
Andrew Bailey, Gubernur Bank of England, sudah memperingatkan komersial bank di Inggris untuk menjauhi stablecoins. Christine Lagarde, kepala European Central bank memperingatkan stablecoins itu adalah private money, uang swasta, yang dapat mengacaukan kerja bank sentral dalam mengelola stabilitas nilai tukar, inflasi dan suku bunga.
Baca Juga
Pada umumnya semua negara di dunia mewaspadai uang crypto dengan sangat khawatir. Untuk mengatasi serangan penetrasi uang crypto yang bersifat digital, bank sentral di seluruh negara justru sudah mengeluarkan atau setidaknya sudah riset dan melakukan pilot project untuk launching central bank digital currency (CBDC). Sudah lebih dari 90% negara di dunia menurut riset Bank for International Settlements, BIS (2024) dalam track akan launching CBDC ini.
Yang paling agresif justru China yang sudah resmi meluncurkan e-Yuan, CBDC ala China, sekaligus melarang total transaksi dan mining cryptocurrency jenis apa pun. Indonesia sudah menyatakan sedang dalam posisi melakukan riset CBDC. Malaysia, dan Thailand lebih advanced, mereka sudah melaksanakan pilot project CBDC, satu langkah lagi untuk launching CBDC versi negara mereka masing-masing.Di sisi lain, Amerika Serikat yang punya dolar AS justru jadi negara yang paling enggan bicara tentang CBDC.
Bisa dipahami, AS tidak ingin dominasi dolar AS sebagai mata uang transaksi internasional digerogoti oleh munculnya jenis uang digital versi bank sentral, CBDC. Fedreal Reserves, Bank sentral AS sama sekali belum secara resmi menyatakan sedang riset launching CBDC, riset saja tidak mau. Indonesia satu langkah lebih maju dibanding AS dalam hal ini. Pada masa Donald Trump 2.0 sekarang, AS malah membalikkan itu semua secara ekstrem, malah mendorong secara resmi penggunaan stablecoins dan lebih jauh lagi mengizinkan cadangan devisa bank sentral AS boleh dalam cryptocurrency.
Stablecoin berbasis US$ sebetulnya sudah cukup luas penggunaannya di negara-negara yang punya masalah dengan nilai tukar mata uang resmi mereka yang turun drastis atau punya volatilitas yang tinggi seperti Turki dan Nigeria. Sebelum Genius Act yang resmi berlaku 18 Juli 2025 ini, Stablecoin berjalan tanpa regulasi yang jelas. Sekarang memang jadi lebih regulated, issuer dari stablecoins yaitu pihak swasta diwajibkan memiliki reserve requirement dan keterbukaan informasi publik yang lebih jelas.
Eksperimen cryptocurrency sebagai mata uang resmi dimulai di Amerika Serikat sekarang ini. Stablecoins dan uang cryp-to lainnya memang punya keunggulan juga dibanding mata uang konvensional yang ada selama ini yaitu dalam hal teknologi transfer antar negara yang sangat rendah biayanya, keamanan dan kerahasiaan transaksi sangat terjaga karena transaksi melalui blockchain yang sangat tertutup bagi pihak pemerintah untuk melacaknya.
Riset BIS menunjukkan biaya transaksi cross border antarnegara melalui jaring-an bank koresponden dunia butuh biaya yang cukup tinggi sementara lewat block-chain, biaya transaksi cryptocuma 10 sen dolar tanpa melihat nilai transaksinya.
Di Afrika bahkan biaya transfer lewat perbankan ada yang mencapai 9%. Di Asia Pasifik bervariasi antara 4% sampai 7% sekali transfer. Biaya transfer ini diperki-rakan akan makin meningkat seiring turunnya jumlah bank koresponden global ini karena beroperasi sebagai bank yang melayani transaksi cross border bukan saja butuh biaya untuk infrastrukturnya, tetapi bank juga menghadapi denda dan hukuman dari pemerintah AS dengan tuduhan melayani transfer ilegal ke dan dari negara-negara yang dikategorikan sebagai tero-ris atau musuh negara atau transaksi dari lembaga atau orang yang ditengarai seba-gai teroris.
Penurunan jumlah bank korespondensi ini sudah sampai taraf yang mengkha-watirkan sehingga BIS seba-gai katakanlah semacam asosiasi bank sentral dunia perlu melakukan berbagai riset yang dapat diakses di website mereka tentang hal ini.
Isu ini serius sekali karena menurunnya bank korespondensi dapat meng-ancam aliran uang global, sehingga terjadi apa yang disebut decoupling process. Dunia tidak lagi sebagai kesatuan keuangan, tetapi sudah terpecah-pecah dan saling sulit berhubungan transaksional.
Dengan memahami latar belakang seperti ini, bisa kita pahami negara-negara yang underbanked, low financial inclusion-nya, rendah akses keuangan perbankannya menjadi negara yang paling bersemangat melancarkan cryptocurrency.
PELAJARAN EL SALVADOR
El Salvador, tahun 2021, Presiden Nayib Bukele menetapkan Bitcoin sebagai mata uang resmi El Salvador dengan harapan menciptakan sistem keuangan inklusif dan menarik investor asing.
Pada 2022, jumlah warga yang menggunakan dompet Bitcoin Lightning sudah melebihi pemilik rekening bank tradisional. IMF ber-kali kali memperingatkan El Salvador akan bahaya crypto-currency dan meminta meng-akhiri regulasi Bitcoin sebagai mata uang resmi negara El Salvador.
Era tersebut sudah berakhir. El Salvador kembali ber-alih ke sistem keuangan konvensional di bulan Februari 2025 ini karena El Salvador terpojok harus meminta ban-tuan keuangan dari IMF aki-bat perkeonomiannya yang terseok-seok.
Eksperimen Bitcoin El Salvador menjadi pelajaran tentang ambisi besar penggunaan cryptocurrency, tekanan global, dan realitas ekonomi. Inilah cer-min yang harus kita perha-tikan saat Indonesia meren-canakan launching e-Rupiah dan regulasi transaksi uang crypto di dalam negeri kita.