Bisnis.com, JAKARTA — Pascalibur panjang Lebaran, rupiah harus menghadapi risiko volatilitas tinggi seperti yang tecermin dari pergerakan kurs di pasar derivatif global akibat sentimen tarif impor Presiden AS Donald Trump. Bukan tidak mungkin, rupiah terpuruk hingga ke level Rp17.000 per dolar AS di pasar spot.
Berdasarkan data Bloomberg, kontrak rupiah Non-Deliverable Forward (NDF) sempat menyentuh level Rp17.006 per dolar AS pada Jumat (4/4/2025) pukul 20.53 WIB.
Kemarin, rupiah ditutup turun 169 poin atau 1,01% ke level Rp16.821,5 per dolar AS. Rupiah memperkecil penurunan dari kurs Rp16.940 per dolar AS pada Senin (7/4/2025).
Gonjang ganjing rupiah di pasar NDF atau off shore itu menjadi indikator karena pasar dalam negeri (on shore) tutup selama libur Lebaran 2025 sejak 28 Maret 2025 hingga 7 April 2025. Pasar uang dalam negeri baru akan dibuka pada hari ini, Selasa (8/4/2025).
Di tengah hal tersebut, Bank Indonesia tengah dalam masa libur dan tidak melakukan operasi moneter selama 11 hari dalam rangka libur Hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN) Nyepi dan Idulfitri. Adapun operasi moneter baru kembali dilakukan pada Senin, 7 April 2025.
Langkah itu diambil bank sentral untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak terjatuh makin dalam ketika perdagangan kembali dibuka besok, Selasa (8/4/2025).
"Intervensi di pasar off-shore [Non-Deliverable Forward/NDF] dilakukan Bank Indonesia secara berkesinambungan di pasar Asia, Eropa, dan New York," tulis Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, Senin (7/4/2025).
BI memastikan akan melanjutkan intervensi secara agresif di pasar domestik mulai pembukaan perdagangan Selasa (8/4/2025) dengan intervensi di pasar valas spot dan DNDF serta pembelian SBN di pasar sekunder.
Tak berhenti sampai di situ, BI juga disebut akan melakukan optimalisasi instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan dalam negeri. Ramdan mengatakan sejumlah langkah ini diambil BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menjaga kepercayaan pelaku pasar.
Tak hanya Indonesia, depresiasi nilai tukar juga terjadi di sejumlah negara lain. Data Bloomberg pada Senin (7/4/2025) pukul 14.50 WIB menunjukkan baht Thailand melemah 0,71%, dolar Taiwan turun 0,30%, dan yuan China turun 0.37%. Sementara itu, yen Jepang menguat 0,90% terhadap dolar AS.
Depresiasi mata uang negara berkembang ini terjadi seiring dengan pemberlakuan tarif impor oleh AS kepada sejumlah negara mitra dagangnya. Sejauh ini, pemerintah RI belum akan mengambil langkah balasan untuk tarif yang diterapkan Presiden AS Donald Trump sebesar 32% untuk Indonesia tersebut.
Sebelumnya, Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan ambrolnya rupiah di pasar NDF terjadi karena banyak data fundamental memengaruhi pelemahan. Rilis data tenaga kerja AS, misalnya, yang tampil lebih baik dari ekspektasi pasar.
Kemudian, The Fed memberikan testimoni pada Jumat (4/4/2025) bahwa terlalu dini untuk menurunkan suku bunga di tengah kondisi ekonomi yang bermasalah serta inflasi.
Penurunan suku bunga acuan juga akan menunggu dampak dari perang dagang. Kemungkinan penurunan suku bunga acuan The Fed tiga kali sebanyak 75 basis poin pada tahun ini pun semakin sirna.
Indeks dolar AS pun kemudian menguat signifikan. Pelemahan rupiah juga tersengat kebijakan tarif impor AS yang sudah diresmikan oleh Presiden Donald Trump.
"Kondisi perang dagang saat ini yang terkena dampak bukan saja China, Eropa, Kanada, dan Meksiko, tapi hampir semua negara," ujar Ibrahim pada Sabtu (5/4/2025).
Sebagaimana diketahui, tarif impor AS telah resmi diumumkan oleh Trump pada Rabu (2/4/2025), waktu setempat. Seluruh negara diganjar tarif impor 10%, sedangkan beberapa negara turut dikenakan tarif resiprokal (reciprocal tariffs) lebih tinggi berdasarkan hambatan perdagangan dengan AS.
Kemudian, pelemahan rupiah juga terkait dengan geopolitik Timur Tengah dan Eropa yang kembali memanas.
Ibrahim memperkirakan pada pembukaan perdagangan kembali pekan depan setelah libur Lebaran, Bank Indonesia akan langsung menjalankan intervensi di pasar valuta asing.
"Namun, kemungkinan intervensi tidak terlalu berpengaruh signifikan. Di pembukaan pasar pekan ini, rupiah bisa tembus Rp17.050 per dolar AS," tutur Ibrahim.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai dalam kondisi seperti sekarang ini, pelemahan ekonomi domestik dan pelemahan nilai tukar rupiah adalah hal yang lumrah terjadi.
Rupiah akan berada dalam kondisi overshoot atau pelemahan yang cepat dan terjadi dalam waktu pendek. Dalam kondisi ini pula, peran Bank Indonesia dan pemerintah menjadi kunci agar rupiah dapat menguat dan menuju keseimbangan baru tersebut.
“Untuk kemudian kembali menguat pada keseimbangan baru. Bank Indonesia bertahun-tahun sudah teruji untuk memanage kondisi overshooting,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat (4/4/2025).
Menurut Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang, setidaknya akan ada dua dampak negatif ke perekonomian Indonesia dalam jangka pendek.
"Disrupsi ekspor berpotensi mempengaruhi industri tambang dan kehutanan, [dan] volatilitas nilai tukar seiring dengan ketidakpastian perdagangan global," ujar Hosianna dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025).
Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak ke signifikan terhadap struktur APBN baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.
Di sisi penerimaan, sambungnya, depresiasi rupiah cenderung meningkatkan nilai ekspor yang dihitung dalam rupiah karena produk-produk ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar internasional. Dalam hal ini, dampaknya akan positif.
"Hal ini berpotensi menambah penerimaan devisa yang pada gilirannya mendukung peningkatan pajak terkait ekspor dan penerimaan non pajak dari sektor komoditas, terutama yang bernilai tinggi dan dihargai dalam mata uang asing," jelasnya.