Bisnis.com, JAKARTA – Mata uang rupiah ditutup melemah pada perdagangan Rabu (19/2/2025), usai Bank Indonesia mengumumkan untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate dalam RDG BI.
Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 46,5 poin atau 0,29% ke Rp15.324 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS terpantau melemah 0,08% ke 106,96.
Sementara itu, sejumlah mata uang di Asia seperti yen Jepang menguat 0,16% di hadapan dolar AS, dolar Hong Kong stagnan, Dolar Singapura melemah 0,01%, dolar Taiwan melemah 0,02%, dan won Korea Selatan melemah 0,10%.
Kemudian peso Filipina menguat 0,19%, rupee India melemah 0,10%, yuan China melemah 0,14%, ringgit Malaysia menguat 0,33%, dan baht Thailand melemah 0,13%.
Sebagaimana diketahui, Bank Sentral memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada level 5,75% pada periode Februari 2025 ini.
BI juga menetapkan suku bunga Deposit Facility di 5,00% dan suku bunga Lending Facility tetap 6,50%.
Baca Juga
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan suku bunga ini konsisten dengan upaya menjaga agar perkiraan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%.
"[Kebijakan suku bunga juga untuk] stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar Perry.
Perry juga menjelaskan bahwa ke depannya, BI akan terus mencermati prospek inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga BI Rate dengan mempertimbangkan pergerakan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, melansir Reuters, sentimen global yang mempengaruhi pasar Asia datang dari traders yang mengabaikan ancaman tarif terbaru dari Presiden AS Donald Trump terhadap impor mobil, semikonduktor, dan farmasi.
Trump mengatakan tarif sektoral untuk farmasi dan chip semikonduktor akan dimulai dari 25% atau lebih tinggi, dan akan meningkat secara signifikan dalam satu tahun. Ia berencana memberlakukan tarif serupa pada mobil mulai 2 April.
Namun, reaksi pasar terhadap ancaman Trump tetap tenang karena para investor semakin melihatnya sebagai alat tawar-menawar. Meskipun demikian, dolar AS menguat akibat kekhawatiran geopolitik, termasuk negosiasi antara Rusia dan Ukraina yang meningkatkan aliran investasi ke aset safe haven.
"Saya pikir investor berasumsi bahwa kesepakatan akan tercapai dan tarif akan ditunda serta dikurangi," kata Ben Bennett, Asia-Pacific Investment Strategist di Legal & General Investment Management di Hong Kong.