Bisnis.com, JAKARTA – Sepanjang 2024, perolehan nilai kontrak baru emiten BUMN Karya kompak mengalami penurunan. Tantangan diperkirakan semakin berat usai pemerintah mengencangkan ikat pinggang anggaran untuk tahun ini.
Emiten konstruksi pelat merah atau BUMN Karya tersebut adalah PT PP (Persero) Tbk. (PTPP), PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA), dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT).
Berdasarkan data yang diolah Bisnis, Senin (10/2/2025), nilai kontrak baru (NKB) ADHI turun paling dalam. Sepanjang 2024, perseroan meraih NKB sebesar Rp20,01 triliun atau melemah 46,85% secara tahunan dari posisi Rp37,65 triliun.
Selanjutnya ada WSKT yang mencatatkan penurunan NKB sebesar 43,20% year on year (YoY). Waskita tercatat merealisasikan kontrak baru sebesar Rp16,90 triliun pada 2023, tetapi akhirnya terkoreksi menjadi Rp9,6 triliun pada tahun lalu.
Sementara itu, WIKA membukukan NKB sebesar Rp20,07 triliun pada 2024, turun 31,36% dari raihan tahun sebelumnya yakni Rp29,24 triliun. Realisasi NKB milik PTPP turut melemah 14,46% YoY menjadi Rp27,09 triliun.
Di tengah penurunan kinerja operasional, emiten BUMN Karya kini menghadapi tantangan dari pemangkasan anggaran infrastruktur oleh pemerintah guna mengefisiensikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Baca Juga
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, total nilai anggaran belanja yang akan dipotong di seluruh kementerian dan lembaga (K/L) tercatat mencapai Rp256,1 triliun.
Salah satunya adalah anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang bakal dipangkas hingga Rp81 triliun dari total pagu sebesar Rp110,95 triliun.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, memandang bahwa emiten BUMN Karya kini menghadapi tantangan besar akibat pemangkasan anggaran infrastruktur. Tekanan ini turut tecermin dari pergerakan saham tiap emiten.
Menilik performa di lantai bursa, saham emiten konstruksi negara memang kompak memerah. Selama satu bulan terakhir, misalnya, saham WIKA membukukan penurunan 13,39%, saham ADHI melemah 13,16%, dan PTPP merosot 14,20%. Adapun, saham WSKT tidak dihitung lantaran masih disuspensi.
“Bearish consolidation yang terjadi sudah mencerminkan dampak pemangkasan anggaran infrastruktur. Hal ini tentu menjadi tantangan atau headwinds bagi emiten BUMN Karya dalam meningkatkan kinerja,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/2/2025).
Dia menambahkan emiten BUMN Karya masih bergantung pada kontrak baru dari pemerintah, sehingga kebijakan efisiensi atau penghematan APBN 2025 akan mempersempit peluang kontrak baru perusahaan di sektor ini.
Dengan kondisi tersebut, Nafan menilai emiten BUMN karya perlu mencari peluang di luar kontrak pemerintah. Menurutnya, perolehan kontrak baru dari sektor swasta ataupun kerja sama internasional dapat menjadi opsi strategis.
Head Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas turut mengamini bahwa prospek kinerja emiten BUMN Karya tengah menghadapi tantangan cukup besar, terutama akibat pemangkasan anggaran infrastruktur.
Kendati demikian, Sukarno menilai bahwa masih ada beberapa faktor yang berpeluang menjadi sentimen positif bagi BUMN Karya ke depan.
Dia mengatakan jika pemulihan ekonomi berjalan baik, permintaan terhadap jasa konstruksi dapat meningkat. Di samping itu, kebijakan pemerintah yang mendukung juga dapat membantu mendorong peningkatan kinerja sektor konstruksi.
“Jika pemulihan ekonomi berjalan baik, maka permintaan jasa konstruksi bisa meningkat. Regulasi, efisiensi biaya, keberhasilan restrukturisasi utang, serta rencana konsolidasi juga bisa menjadi sentimen positif lainnya,” kata Sukarno.
MANUVER EMITEN BUMN KARYA
Seiring dengan kondisi terkini, emiten konstruksi pelat merah tengah bersiap melakukan manuver bisnis demi menghadapi penurunan alokasi anggaran infrastruktur dan perubahan prioritas program pemerintah pada 2025.
Sekretaris Perusahaan ADHI Rozi Sparta mengatakan bahwa perseroan menargetkan perolehan kontrak baru sekitar Rp27 triliun hingga Rp28 triliun sepanjang 2025.
Untuk meraih target tersebut, dia menuturkan ADHI berencana menggeser portofolio kontrak baru dari pemerintah ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta seiring dengan penurunan anggaran infrastruktur.
“Perseroan berkomitmen terus beradaptasi dengan kondisi pasar dan memaksimalkan peluang yang ada guna menjaga pertumbuhan pendapatan yang positif,” ucapnya.
Rozi menambahkan bahwa manajemen berfokus meraih pertumbuhan pendapatan pada tahun ini, sejalan dengan upaya percepatan penyelesaian proyek, penambahan kontrak baru, serta efisiensi operasional dan pengendalian biaya.
Corporate Secretary Waskita Karya Ermy Puspa Yunita juga menyatakan perseroan terus berupaya adaptif terhadap perubahan di industri konstruksi. Menurutnya, dengan rekam jejak dan kapabilitas yang dimiliki, Waskita masih cukup optimistis untuk dapat berkontribusi terhadap pembangunan infrastruktur Indonesia.
“Waskita optimistis bahwa pertumbuhan nilai kontrak baru dapat terjadi dengan tetap berkontribusi pada program-program strategis pemerintah,” kata Ermy.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya Mahendra Vijaya menjelaskan perseroan saat ini sedang menentukan sederet target pada 2025. Dari rencana itu, WIKA masih akan menyasar proyek infrastruktur pemerintah di sejumlah sektor.
“Selain menyasar proyek infrastruktur pemerintah yang mendukung ketahanan nasional, WIKA juga siap melaksanakan proyek-proyek EPCC yang menunjang ketahanan energi dan industri hilirisasi,” ungkap Mahendra.
Di tengah pemangkasan anggaran infrastruktur, PTPP juga masih membidik kenaikan perolehan nilai kontrak baru menjadi sekitar Rp28 triliun sepanjang 2025. Target ini tumbuh 5% jika dibandingkan realisasi tahun lalu yaitu Rp29,09 triliun.
Corporate Secretary PTPP Joko Raharjo menuturkan pertumbuhan itu akan didorong oleh sektor konstruksi dengan mayoritas kontribusi berasal dari proyek gedung.
“PTPP memiliki target pertumbuhan pada nilai kontrak baru sebesar 5% dari realisasi 2024 dengan mayoritas pareto terbesar pada gedung sebesar 31,19%, jalan dan jembatan 26,47%, serta pelabuhan 12,95%,” pungkas Joko kepada Bisnis.
__________
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.