Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak dunia turun lebih dari 2% pada Rabu (5/2/2025) karena kenaikan besar dalam stok minyak mentah dan bensin AS menandakan permintaan yang lebih lemah.
Sementara itu, potensi perang dagang China-AS memicu kekhawatiran akan melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Mengutip Reuters pada Kamis (6/2/2025), harga minyak mentah berjangka jenis Brent turun $1,59, atau 2,09%, menjadi US$74,61 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate AS turun $1,67, atau 2,3%, menjadi US$71,03 per barel.
Badan Informasi Energi (EIA) mengatakan, persediaan minyak mentah AS meningkat tajam minggu lalu, karena kilang-kilang yang menghadapi lemahnya permintaan bensin melakukan pekerjaan pemeliharaan.
“Perusahaan penyulingan tidak membutuhkan minyak mentah saat ini. Mereka berlomba-lomba melakukan perawatan, mengingat sepinya permintaan bensin,” kata John Kilduff, partner di Again Capital di New York.
Kekhawatiran atas perang dagang baru antara AS dan China, importir energi terbesar di dunia, juga menekan harga.
Baca Juga
Pada Selasa (4/2/2025), China mengumumkan tarif impor minyak AS, gas alam cair dan batu bara sebagai pembalasan atas pungutan AS terhadap ekspor China, mendorong WTI turun 3% pada sesi terendahnya, terendah sejak 31 Desember.
“China yang menerapkan tarif terhadap impor AS akan mengurangi permintaan komoditas tersebut, yang perlu dialihkan ke pasar lain,” kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates.
Pada Rabu (5/2/2025), Presiden Iran Masoud Pezeshkian mendesak anggota OPEC untuk bersatu melawan kemungkinan sanksi AS, setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan dia akan mengembalikan kampanye tekanan maksimum terhadap Iran seperti yang dia lakukan pada masa jabatan pertamanya.
Trump mendorong ekspor minyak Iran mendekati nol pada masa jabatan pertamanya setelah menerapkan kembali sanksi untuk membatasi program nuklir negara tersebut.
“Jika sanksi ini diterapkan kembali, tekanan pasokan dapat mempertahankan momentum kenaikan harga minyak, terutama di tengah penyesuaian pasokan yang lebih lambat dari perkiraan dari produsen OPEC+,” kata Ahmad Assiri, ahli strategi penelitian di broker Pepperstone.
Berdasarkan perkiraan EIA, ekspor minyak Teheran menghasilkan US$53 miliar pada 2023 dan US$54 miliar pada tahun sebelumnya. Sementara itu, data OPEC menyebut, output minyak pada 2024 berada pada level tertinggi sejak 2018.
“Pasar minyak kini terjebak antara meningkatnya kekhawatiran bahwa meningkatnya perang dagang akan merusak pertumbuhan permintaan minyak global di satu sisi dan kemungkinan gangguan mendadak terhadap ekspor minyak Iran,” kata Bjarne Schieldrop, kepala analis komoditas di SEB.