Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SRBI & SBN Berisiko Tekan Daya Serap Surat Utang Korporasi pada 2025

Pefindo memandang risiko persaingan antara surat utang pemerintah, seperti SRBI dan SBN diperkirakan menekan daya serap surat utang korporasi pada 2025.
Ilustrasi. Pefindo memandang risiko persaingan antara surat utang pemerintah, seperti SRBI dan SBN diperkirakan menekan daya serap surat utang korporasi pada 2025.Bisnis/Abdullah Azzam
Ilustrasi. Pefindo memandang risiko persaingan antara surat utang pemerintah, seperti SRBI dan SBN diperkirakan menekan daya serap surat utang korporasi pada 2025.Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Tingginya penerbitan surat utang oleh pemerintah, baik melalui Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) maupun Surat Berharga Negara (SBN), berisiko menekan daya serap surat utang korporasi pada 2025.

Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto memperkirakan penerbitan surat utang korporasi akan berada di bawah jatuh temponya pada 2025. Hal ini dipengaruhi oleh risiko persaingan dengan instrumen investasi lainnya, seperti surat utang pemerintah ataupun SRBI.

“Kompetisi di pasar antara pemerintah dengan korporasi akhirnya membuat penerbitan surat utang korporasi kurang terserap maksimal karena memang banyak investor, yang akhirnya lebih memilih menaruh uangnya pada aset-aset risk-free,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (11/12/2024).

Dalam pemaparannya, Suhindarto juga memandang bahwa tingginya penerbitan surat utang pemerintah akan menimbulkan crowding out jika sisi permintaan tidak dapat menyerap dan mengimbangi tambahan pasokan surat utang korporasi.

Risiko crowding out muncul ketika dana yang tersedia bagi pasar surat utang korporasi lebih terbatas akibat dengan persaingan instrumen dari pemerintah. Akibatnya, suku bunga akan lebih kaku untuk menurun dan biaya investasi menjadi lebih mahal sehingga mengurangi minat perusahaan untuk menerbitkan surat utang.

“Sejauh ini, kepemilikan investor institusi domestik cenderung melandai seiring mulai terbatasnya daya serap mereka,” kata Suhindarto.

Sementara itu, Direktur Utama Pefindo Irmawati Amran memproyeksikan bahwa penerbitan surat akan berada di rentang Rp139 triliun sampai dengan Rp155 triliun, dengan titik tengah berada di angka Rp144 triliun.

Proyeksi tersebut berlandaskan pada kebutuhan refinancing yang diperkirakan masih besar, seiring dengan nilai surat utang jatuh tempo yang masih besar pasca tingginya penerbitan dengan tenor pendek pada 2024.

“Selain itu, aktivitas sektor ekonomi diperkirakan masih kuat, suku bunga acuan lebih rendah, dan likuiditas lembaga keuangan yang ketat mendorong perusahaan mencari alternatif pendanaan, seperti obligasi korporasi,” kata Irma.

Dia menambahkan premi diperkirakan turut lebih stabil karena leverage keuangan yang baik akibat suku bunga lebih rendah. Adapun tantangannya meliputi risiko geopolitik, volatilitas keuangan, dan premi yang dapat meningkat.

Sepanjang Januari – November 2024, nilai penerbitan surat utang nasional telah mencapai Rp130,18 triliun. Nilai tersebut dikontribusikan oleh BUMN senilai Rp40,64 triliun, sementara perusahaan di luar BUMN menyumbang Rp89,53 triliun.

Secara sektoral, industri multifinance atau pembiayaan mendominasi penerbitan surat utang dengan total nilai Rp30,52 triliun. Pembiayaan BUMN berkontribusi Rp2,77 triliun, sedangkan non-BUMN menyumbang Rp30,52 triliun.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper