Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi pada awal pekan ini, Senin (7/10/2024), berisiko menghadapi peningkatan volatilitas sejalan dengan kenaikan yield US Treasury dan depresiasi rupiah.
Mengutip catatan tertulis BNI Sekuritas, indikator global menunjukkan sentimen yang cenderung negatif bagi pasar obligasi hingga Jumat (4/10/2024). Hal itu tecermin dari lonjakan yang terjadi pada yield US Treasury (UST).
Yield curve UST 5 tahun tercatat meningkat sebesar 19 basis poin menjadi 3,81% dan yield curve UST 10-tahun meningkat sebesar 13 basis poin menjadi 3,98%.Secara week-over-week, yield curve UST 10 tahun telah meningkat sebesar 23 basis poin.
Sementara itu, rupiah mencatatkan pelemahan mingguan sebesar 2,38% terhadap dolar AS. Data Bloomberg menunjukkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,37%, bergerak dari level Rp15.429 per dolar AS pada Kamis menjadi Rp15.485 per dolar AS pada Jumat (4/10/2024).
Adapun, Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia masih bertahan di level 69 poin. Posisi itu tidak berubah dibandingkan dengan levelnya pada pekan sebelumnya.
Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Amir Dalimunthe mengatakan sejalan dengan peningkatan yield UST dan pelemahan rupiah, yield curve SUN 10 tahun (GIDN10YR) mencatatkan peningkatan mingguan sebesar 18 basis poin menjadi 6,65%.
“Kami melihat adanya potensi peningkatan volatilitas pada harga dan yield instrumen SBN berdenominasi rupiah,” ujarnya dalam catatan tertulis, Senin (7/10/2024).
Untuk periode 7-11 Oktober 2024, BNI Sekuritas memperkirakan yield curve SUN 10 tahun akan berada di kisaran 6,51%—6,78%.
“Berdasarkan valuasi yield curve, kami memperkirakan bahwa obligasi FR0086, FR0047, FR0071, FR0100, FR0068, FR0080, FR0098, FR0050 akan menarik bagi para investor,” imbuhnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.