Bisnis.com, JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tertekan hingga sempat menyentuh level terendahnya sepanjang tahun 2024 seiring dengan penerapan Papan Pemantauan Khusus (PPK) full call auction (FCA) dan terkoreksinya emiten-emiten bank jumbo.
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menilai pelemahan IHSG terjadi karena investor asing yang terus melakukan aksi jual. Menurutnya, investor asing melihat prospek ekonomi makro Indonesia yang akan mengalami defisit.
Selain itu, Parto juga menyebut penyebab lain dari pelemahan IHSG adalah akibat adanya pelemahan rupiah, dan daya beli masyarakat yang turun.
Parto juga menuturkan masuknya PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) ke papan pemantauan khusus dengan mekanisme full call auction turut menjadi salah satu hal yang mempengaruhi penurunan IHSG.
"Investor tidak nyaman tanpa keterbukaan harga bid-offer," kata Parto, dihubungi Jumat (7/6/2024).
Dia melanjutkan evaluasi mengenai FCA saat ini akan tergantung dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), apakah kedua lembaga ini mau membuka diskusi dengan investor atau asosiasi.
Baca Juga
Hanya saja, Parto menyayangkan sikap asosiasi yang tampak anteng dalam menyikapi penerapan PPK FCA ini.
"Sayang asosiasi tampak anteng, mungkin sungkan dengan Self Regulatory Organization," ucap Parto.
Saat ini, lanjut Parto, yang dapat dilakukan investor mengenai PPK FCA ini adalah dengan mengirim surat pengaduan ke BEI, OJK, dan asosiasi untuk meminta diskusi berdasarkan data atau argumen rasional.
"Investor sebaiknya tidak kirim-kirim karangan bunga karena BEI bisa merasa 'dijatuhkan'," ujarnya.
Dengan hal ini, Parto menuturkan saat ini investor terpaksa melakukan wait and see, dan bersiap-siap untuk melakukan investasi jangka panjang. Apabila dana investor hanya bisa untuk investasi jangka pendek, maka menurut Parto investor terpaksa cut-loss.
Sebagai informasi, IHSG sempat menyentuh level terendah sejak awal tahun ini di level 6.887,87 pada perdagangan Jumat (7/6/2024), IHSG pun parkir di zona merah dengan melemah 1,10% ke level 6.897,95. Angka tersebut mencerminkan koresi sebesar 5,15% sepanjang tahun berjalan (YtD).
Seiring melemahnya indeks komposit, tiga dari empat saham bank jumbo juga mengalami tren pelemahan harga saham secara year to date. Saham bank yang turun akibat kebijakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah justru masih menarik untuk dicermati hingga akhir tahun.
Berdasarkan data RTI Business, per 7 Juni 2024, tiga saham bank buku empat kompak mengalami pelemahan sepanjang tahun berjalan.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) saat ini berada di level Rp4.350 per saham atau telah turun 24,02% secara year to date. Kapitalisasi pasar pun tercatat sebesar Rp659,28 triliun.
Kemudian saham PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) juga ikut turun 12,56% secara ytd dan saat ini parkir di level Rp4.700. Kapitalisasi pasar pun saat ini berada di level Rp175,30 triliun.
Senada, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) juga melemah tipis sebesar 0,80% ytd ke posisi Rp9,325 per saham. Kapitalisasi pasar BBCA juga tercatat di posisi Rp1.149,54 triliun.
Hanya PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) yang mampu naik sebesar 3,72% secara year to date. Saham BMRI saat ini berada di level Rp6.275 per saham dengan kapitalisasi pasar sebesar 585,67 triliun.
Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan tekanan bagi saham perbankan terjadi karena kebijakan suku bunga The Fed serta pelemahan nilai tukar rupiah.
“Saham perbankan sangat dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga The Fed yang pada awal tahun diperkirakan turun di Juni sementara saat ini ekspektasi pasar sudah mulai bergeser,” kata Valdy dalam webinar Indonesia Investment Education, dikutip Minggu (9/6/2024).
Lebih lanjut dia mengatakan perubahan ekspektasi tersebut disulut oleh stagnannya inflasi karena peningkatan konflik geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah.
Selain itu pelemahan saham bank juga disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah yang saat ini bahkan tembus Rp16.200 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini berdampak pada kualitas aset bank yang bersangkutan serta berpotensi menekan laba bersih.
Selanjutnya, pelemahan saham bank juga disebabkan oleh pertumbuhan kinerja kuartal I/2024 yang tidak sebaik tahun lalu. Hal itu, kata Valdy mempengaruhi psikologis pasar.
Meski demikian, secara keseluruhan kondisi perbankan saat ini masih kuat. Hal itu dilihat dari capital adequacy ratio di sekitar 20% jauh dari ambang batas minimal yatu 8%, loan to deposit rate masih di atas 80%, serta pertumbuhan loan yang masih double digit.
“Pertumbuhan loan masih double digit 10%-12%, sampai dengan akhir tahun bisa tumbuh sekitar 11-12% di tengah kondisi yang menantang,” kata dia.
Sementara itu, CEO Pinnacle Persada Investama Guntur Putra mengatakan potensi rebound indeks saat ini masih sangat bergantung pada data ekonomi dan perkembangan geopolitik.
“Jika situasi membaik, rebound pada bulan Juni sangat mungkin terjadi. Kami lebih optimis dengan asumsi stabilisasi ekonomi global, penguatan mata uang rupiah, dan kebijakan stimulus dari pemerintah,” kata Guntur kepada Bisnis.com, Minggu (9/6/2024).
Guntur menilai meski terdapat peluang rebound, investor harus tetap berhati-hati terhadap potensi risiko global seperti ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa.
Secara keseluruhan, dia menjelaskan kondisi pasar yang terjadi saat ini secara jangka pendek masih akan berfluktuasi, terutama pada indeks LQ45 dan IDX30. Menurutnya kinerja dua indeks tersebut lebih menggambarkan kondisi pasar yang sebenarnya, terutama dari sisi likuiditas.
“Proyeksi ke depan secara jangka panjang masih cukup baik, walaupun untuk short term masih tetap akan berfluktuasi,” lanjutnya.
Adapun, peluang rebound pada paruh kedua tahun ini akan sangat tergantung dari kondisi makro perekonomian, terutama pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kebijakan Bank Indonesia yang akan menjadi indikator penting. Jika kondisi makroekonomi menunjukkan perbaikan, ini bisa menjadi katalis positif bagi pasar saham.
Faktor kedua adalah kinerja perusahaan large cap dan blue chip yang menjadi konstituen IDX30 dan LQ45. Secara keseluruhan, menurut Guntur, banyak saham-saham di IDX30 dan LQ45 sudah terkoreksi mungkin dari sisi likuiditas dan market kapitalisasi
Respons BEI dan OJK Soal Kebijakan Full Call auction (FCA)
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy mengatakan IHSG akan mengalami sedikit guncangan setelah pihaknya memasukkan BREN ke dalam papan pemantauan khusus dengan skema FCA. Akibatnya, saham milik Prajogo Pangestu itu kini ditransaksikan dengan skema full call auction selama sebulan.
“Turbulensi kecil-kecil menurut saya wajar saja sebagai respon atas perkembangan pasar dan kinerja. Saya yakin market akan melakukan penyesuaian terkait perubahan-perubahan yang terjadi baik secara makro, mikro, regional ataupun global,” katanya Rabu (29/5/2024).
Adapun Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Pasar Modal OJK Antonius Hari mengakui penerapan PPK FCA ini memang menimbulkan dinamika di pasar. Akan tetapi, kata dia, penerapan FCA ini menurutnya bertujuan baik untuk melindungi investor kecil.
"Memang sekarang timbul dinamika, tapi tujuan kami baik sebenarnya, untuk melindungi investor kecil," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik mengatakan kondisi pasar pekan ini yang lesu merupakan dinamika pasar dan dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang terjadi.
“Bursa tidak pada posisi atau punya kemampuan untuk menentukan IHSG,” kata Jeffrey di Gedung Bursa Efek, Sabtu (8/6/2024).
Secara lebih detail, ketika ditanya terkait dengan kemungkinan penyebab lesunya pasar adalah papan pemantauan khusus dan mekanisme full call auction, Jeffrey menyebut terlalu dini untuk menyimpulkannya.
________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.