Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja emiten BUMN pertambangan, PT Timah Tbk. (TINS) mencatat kerugian sebesar Rp449,69 miliar sepanjang 2023. TINS merilis laporan kinerja 2023 di tengah bergulirnya kasus kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang menyeret suami Sandra Dewi yakni Harvey Moeis, eks direksi TINS, hingga Helena Lim.
Mengacu laporan keuangan di laman BEI, rugi bersih TINS tercatat sebesar Rp449,69 miliar pada 2023, dibandingkan periode sama 2022 yang mencatatkan laba sebesar Rp1,04 triliun. Pendapatan TINS juga terpantau ambles 32,88% secara year-on-year (YoY) menjadi Rp8,39 triliun, dibanding periode 2022 sebesar Rp12,5 triliun.
Secara terperinci berdasarkan segmen, pendapatan jumbo TINS ditopang dari pertambangan timah sebesar Rp8,36 triliun, disusul pertambangan batu bara sebesar Rp1,05 triliun, dan segmen industri sebesar Rp962,22 miliar.
Selanjutnya, pendapatan segmen konstruksi menyumbang sebesar Rp307,5 miliar, dan segmen lainnya sebesar Rp441,79 miliar. Pendapatan itu dikurangi biaya eliminasi sebesar Rp2,73 triliun.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko TINS Fina Eliani mengatakan lambatnya pemulihan ekonomi global dan domestik, serta tekanan harga logam timah dunia 2023 akibat penguatan mata uang AS, serta lemahnya permintaan timah karena tingginya persediaan LME berdampak pada menurunnya ekspor timah Indonesia sejak 2022 hingga saat ini.
"Selain itu, penambangan timah tanpa izin yang terjadi di Bangka Belitung akibat tata kelola pertimahan yang belum membaik, berdampak negatif pada bisnis pertimahan di Indonesia khususnya perseroan," ujar Fina dalam keterangannya, dikutip Jumat (29/3/2024).
Baca Juga
Sejalan dengan turunnya pendapatan, beban pokok TINS juga terpangkas 20,56% YoY menjadi Rp7,92 triliun, dari periode sama 2022 sebesar Rp9,97 triliun.
Alhasil, laba bruto perseroan merosot signifikan 81,55% menjadi Rp465,94 miliar 2023, dibandingkan periode tahun sebelumnya sebesar Rp2,52 triliun.
Di lain sisi, kas dan setara kas akhir tahun TINS justru tercatat naik 26,24% YoY menjadi Rp1,52 triliun, dibandingkan 2022 sebesar Rp1,2 triliun.
Berdasarkan neraca, total aset TINS per 31 Desember 2023 tercatat sebesar Rp12,85 triliun, atau turun dari posisi akhir 2022 sebesar Rp13,06 triliun.
Liabilitas perseroan naik menjadi Rp6,61 triliun dari posisi akhir 2022 sebesar Rp6,02 triliun. Sementara itu, ekuitas TINS turun menjadi Rp6,24 triliun, dari posisi Desember 2022 sebesar Rp7,04 trilun.
Kinerja Operasi Timah
TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 14.855 ton atau 74% pada akhir tahun 2023 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 20.079 ton.
Adapun, produksi logam timah sebesar 15.340 metrik ton atau 77% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 19.825 metrik ton, serta penjualan logam timah sebesar 14.385 metrik ton atau 69% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 20.805 metrik ton.
Harga jual rerata logam timah sebesar US$26.583 per metrik ton atau lebih rendah 84% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD31.474 per metrik ton.
Hingga akhir 2023, TINS mencatatkan ekspor timah sebesar 92% dengan 6 besar negara tujuan ekspor meliputi Jepang 17%, Korea Selatan 13%, Belanda 11%, India 9%, Taiwan 9% dan Amerika Serikat 8%.
"Di tahun 2024 ini, perseroan fokus pada peningkatan produksi melalui penambahan alat tambang dan pembukaan lokasi baru, strategi recovery plan dan program efisiensi berkelanjutan, manajemen optimis kinerja Perseroan di tahun ini akan lebih baik sesuai dengan target," pungkas Fina.
Kasus Korupsi Timah
Sebagai informasi, kasus korupsi TINS bermula saat sejumlah tersangka melakukan pertemuan dengan eks petinggi TINS untuk melakukan penambangan. Petinggi TINS tersebut yakni Riza Pahlevi yang merupakan eks Direktur TINS dan Emil Emindra selaku Direktur Keuangan TINS tahun 2017-2018 untuk mengakomodir pertambangan timah ilegal.
Pertemuan tersebut membuahkan hasil kerja sama antara PT Timah dan sejumlah perusahaan untuk seolah-olah ada sewa-menyewa soal proses peleburan.
Kemudian, untuk memasok kebutuhan bijih timah itu disepakati untuk menunjuk tujuh perusahaan boneka mulai dari CV BJA, CV RTP, CV BLA, CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS.
Kejagung telah bekerja sama dengan ahli lingkungan menghitung kerugian ekologis yang disebabkan oleh pertambangan timah dalam kasus IUP PT Timah Tbk. (TINS). Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan itu mencapai Rp271 triliun.
Alhasil, sebanyak 16 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) TINS, selama periode 2015 hingga 2022. Di antaranya termasuk Harvey Moeis, Helena Lim, hingga para direksi TINS.