Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup perkasa ke level Rp15.417 per dolar AS. Sejumlah mata uang Asia terpantau kompak menguat bersama rupiah dan menghantam dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg dikutip Kamis, (28/12/2023) pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup menguat 0,08% atau 12,5 poin ke level Rp15.417 per dolar AS, setelah parkir di zona hijau kemarin. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau melemah 0,23% ke level 100,75 pada sore ini.
Mayoritas mata uang kawasan Asia terpantau menguat terhadap dolar AS. Misalnya, yen Jepang melesat 0,71%, dolar Singapura naik 0,27%, dolar Taiwan menguat 0,88%, dan won Korea menguat 0,40%.
Selanjutnya, peso Filipina naik 0,25%, yuan China menguat 0,51%, ringgit Malaysia naik 0,39%, baht Thailand naik 0,57%.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, indeks dolar yang mengukur mata uang AS terhadap enam mata uang rivalnya, jatuh ke level terendah baru dalam lima bulan di level 100,76.
"Indeks dolar AS berada di jalur penurunan sebesar 2,6% tahun ini, menghentikan kenaikan kuat selama dua tahun berturut-turut," ujar Ibrahim dalam riset pada Kamis, (28/12/2023).
Baca Juga
Dia mengatakan, fokus investor tetap tertuju pada waktu penurunan suku bunga Federal Reserve, dengan pasar memperkirakan peluang penurunan suku bunga sebesar 88% pada Maret 2024, menurut alat CME FedWatch. Kontrak berjangka menyiratkan lebih dari 150 basis poin pelonggaran The Fed tahun depan.
Kendati The Fed menunjukkan sikap dovish, bank sentral besar lainnya, termasuk Bank Sentral Eropa (ECB) tetap mempertahankan sikap mereka untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Namun pasar masih memperhitungkan penurunan suku bunga ECB sebanyak 165 basis poin pada tahun depan.
Selain itu, investor memperkirakan Bank of England tidak akan mampu menurunkan suku bunga sebanyak yang dilakukan The Fed dan ECB, mengingat inflasi di Inggris semakin tinggi. Hal ini telah memperlebar kesenjangan antara imbal hasil obligasi Inggris dan imbal hasil obligasi AS dan Eropa, sehingga membuatnya terlihat lebih menarik.
Dari sentimen dalam negeri, menurutnya para ekonom optimis tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024, bahkan bisa mencapai 5,2%. Namun, sebagian ekonom lain menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 ada potensi terjadi stagnasi, bahkan mungkin sedikit melambat walaupun tidak besar.
Ibrahim mengatakan, faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi global. Hal itu terlihat dari melemahnya permintaan ekspor Indonesia, terutama dari China, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, sehingga ekonomi tidak bertumbuh tinggi.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah diprediksi fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp15.360- Rp15.440," pungkasnya.