Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Dibuka Perkasa ke Rp15.495, Tersengat Sentimen The Fed

Mata uang rupiah dibuka menguat ke posisi Rp15.495 di hadapan dolar AS pada perdagangan hari ini, Rabu, (20/12/2023).
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Selasa (5/9/2023). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Selasa (5/9/2023). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang rupiah dibuka menguat ke posisi Rp15.495 di hadapan dolar AS pada perdagangan hari ini, Rabu, (20/12/2023). Penguatan rupiah tersengat sentimen Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) yang masih memproyeksikan kebijakan hawkish soal suku bunga. 

Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.05 WIB, mata uang rupiah dibuka menguat 0,07% atau 11 poin ke level Rp15.495 per ddolar AS. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau naik 0,05% ke posisi 102,21. 

Adapun, mata uang kawasan Asia lainnya terpantau melemah terhadap dolar AS pagi ini. Misalnya, yen Jepang melemah 0,06%, dolar Hongkong melemah 0,03%, dolar Singapura turun 0,11%, yuan China terkoreksi 0,20%, dan baht Thailand 0,29%.

Sementara itu, mata uang Asia yang masih kebal terhadap dolar AS yaitu dolar Taiwan naik 0,23%, won Korea melompat 0,45%, peso Filipina naik 0,16%, dan ringgit Malaysia menguat 0,40%. 

Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan mata uang rupiah pada perdagangan hari ini akan cenderung fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp15.490- Rp15.540 per dolar AS.

Menurutnya, pejabat Bank Sentral AS Federal Reserve berupaya meredam spekulasi penurunan suku bunga. Sejumlah pejabat Fed mengatakan pada Senin bahwa antusiasme pasar terhadap penurunan suku bunga dalam waktu dekat tidak berdasar, dan inflasi yang tinggi dapat membuat kondisi moneter lebih ketat lebih lama. 

Adapun, Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee mengatakan dia “bingung” dengan bagaimana pasar bereaksi terhadap pertemuan The Fed minggu lalu, sementara Presiden Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan bahwa The Fed tidak mempertimbangkan penurunan suku bunga, namun lebih pada berapa lama kebijakan harus tetap ketat untuk mengembalikan inflasi ke target 2%.

“Komentar mereka agak bertentangan dengan pandangan dovish dari The Fed selama pertemuan kebijakan terakhirnya tahun ini, di mana bank sentral mengatakan pihaknya telah selesai menaikkan suku bunga dan akan mempertimbangkan penurunan pada 2024,” kata Ibrahim dalam risetnya, dikutip Rabu (20/12/2023).

Lebih lanjut dia mengatakan, pasar juga mempertahankan pertaruhan mereka terhadap penurunan suku bunga The Fed lebih awal, dengan prediksi pasar berjangka menunjukkan peluang hampir 63% untuk penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Maret 2024.

Di Asia, Bank Of Jepang (BOJ) mempertahankan suku bunga pada tingkat negatif dan tidak memberikan petunjuk kapan mereka berencana untuk mulai melakukan pengetatan kebijakan.

Sedangkan dari sentimen domestik, Ibrahim mengharapkan pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024 bisa berlangsung dalam satu putaran dan akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia. 

“Tren pertumbuhan ekonomi di 5% bisa makin tinggi jika uang beredar makin besar. Terobosan kebijakan finansial di pemerintahan yang baru ini jadi hal yang sangat penting,” pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rizqi Rajendra
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper